Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen UMSU & Kepala OIF UMSU
Pengkajian fajar (fajar kazib, fajar sadik) di dunia Islam sesungguhnya telah berlangsung lama dan sangat dinamis. Para ulama dan ilmuwan Muslim sepanjang sejarah peradaban Islam memiliki karya dan kontribusi di bidang ini. Kajian dan perhatian para ulama dan ilmuwan Muslim ini tidak lain karena keterkaitan fajar itu dengan ibadah, yaitu salat Subuh. Seperti diketahui, berdasarkan keterangan al-Qur’an dan Sunah, waktu Subuh ditentukan dengan munculnya sebuah fenomena langit bernama fajar sadik. Selanjutnya dalam sejumlah hadis Nabi Saw disebutkan pula bahwa praktik salat Subuh yang dilakukan Nabi Saw adakalanya dilaksanakan saat ghalas dan adakalanya saat isfar, yang mana keduanya dalam kategori fajar sadik.
Tak ayal perbedaan penerjemahan fajar sadik, ghalas, dan isfar ini menyebabkan terjadinya perbedaan dan perdebatan di kalangan umat Islam (khususnya kalangan ulama dan ilmuwan) yang mendalami masalah ini, diantaranya dapat dilihat dalam karya-karya yang mereka tulis yang berkaitan dengan masalah fajar dan waktu Subuh. Dalam praktiknya lagi, tatkala fajar sadik, ghalas, dan isfar itu dikuantifikasi dalam bentuk waktu (jam) dan ketinggian derajat posisi Matahari di bawah ufuk sebagai pertanda awal waktu Subuh kembali terjadi perbedaan dan perdebatan.
Dalam perkembangannya lagi, pengkajian dan penerjemahan fajar sadik, fajar kazib, ghalas, dan isfar ini menyebabkan lahirnya beragam metode dan analisis fisis cahaya yang adakalanya bahkan kerap berbeda antara satu metode-analisis dengan metode-analisis lainnya, hal ini tanpa terkecuali terjadi di Indonesia hari ini. Di Indonesia saat ini marak penelitian dan pengkajian awal waktu Subuh dengan berbagai instrumen dan metode baik secara visual maupun optik yang secara praktis menghasilkan beragam standar awal waktu Subuh. Terkini Muhammadiyah telah merubah awal waktu Subuhnya dari -20 derajat menjadi -18 derajat, sedangkan Kementerian Agama tetap bertahan dengan -20 derajatnya. Selain itu ada pula yang menetapkan diluar dua standar itu (yaitu -16 dan -17 derajat) yaitu oleh sejumlah umat Islam baik dalam skop komunitas terbatas maupun individu, yang mana ini bukan rahasia lagi.
Terkini, tim Kementerian Agama melakukan pengamatan dan penelitian awal waktu Subuh (juga observasi awal bulan Muharam) di Observatorim Nasional Timau, Nusa Tenggara Timur. Sejumlah tim (pakar) diturunkan dalam kegiatan tersebut. Hasilnya seperti tampak dalam rilis media sosial dan sharing-diskusi group WhatsApp, tim Kementerian Agama menyatakan telah mendapatkan hasil persis dan presisi -20 derajat yang dengan demikian data ini menguatkan rumusan -20 derajat selama ini. Hanya saja disayangkan data utama (file asli) yang diperoleh tim Kementerian Agama itu tidak dapat diakses dan tampaknya Kementerian Agama belum bersedia mendistribusikannya terutama kepada periset-periset fajar di tanah air, yang terdistribusi baru dan hanya kesimpulan hasil -20 derajat versi Kementerian Agama (persisnya versi beberapa tim Kementerian Agama yang terjun ke lapangan), lalu gambar-gambar dan video langit, gambar-gambar selfie para tim saat di lapangan, plus narasi-narasi yang menguatkan temuan tersebut.
Bila ditelaah, salah satu problem utama penentuan awal waktu Subuh di Indonesia saat ini adalah problem metode pengolahan data, dimana masing-masing periset memiliki metode dan standar masing-masing yang berbeda antara satu dengan yang lain. Secara keilmuan, berbagai metode yang ada itu selama dijalankan berdasarkan standar yang berlaku dalam masing-masing metode maka harus dinyatakan benar dan valid. Problemnya adalah manakala hasil rumusan dan analisis berbagai metode itu melahirkan nilai kedalaman (dip) Matahari di bawah ufuk timur sebagai pertanda awal waktu Subuh yang berbeda antara satu dengan yang lain, sehingga hal ini menjadi pertanyaan dan persoalan, yaitu metode apa dan bagaimana sesungguhnya yang menjadi panduan dan acuan untuk digunakan? Jika semua metode dianggap benar tentu akan menjadi problem di lapangan (yaitu di kalangan jamaah dan pengurus masjid). Seperti diketahui saat ini belum ada, persisnya belum disepakati, unifikasi soal metode analisis dan olah data ini, masing-masing periset (baik lembaga, organisasi, individu, maupun Pemerintah) mengklaim data, metode, dan standar pengolahan datanya valid dan layak digunakan.
Adi Damanhuri (2020) dalam karyana “Pengamatan dan Penelitian Awal Waktu Subuh : Semua Bisa Melakukannya” menyebutkan setidaknya ada empat proses metode analisis data yang dapat diterapkan untuk menganalisis data kecerlangan langit (fajar) yang terekam oleh Sky Quality Meter (SQM). Empat metode itu adalah : (1) metode Moving Average, (2) metode Polinomial, (3) metode Solver, dan (4) metode DSLR. Empat metode ini memiliki karakter, parameter, dan variabel masing-masing yang memiliki kelebihan dan kekurangan dan boleh jadi menghasilkan kesimpulan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Sangat mungkin diluar empat metode ini masih ada metode-metode lainnya yang berkembang dan digunakan oleh para periset fajar.
Karena itu data tim Kementerian Agama yang didapat dari lokasi Timau tersebut (juga data-data yang ada dalam koleksi periset-periset fajar lainnya) menarik dan patut untuk diuji dan komparasi dengan berbagai metode yang ada. Setelah diuji-komparasi, jika menghasilkan kesimpulan (dip) yang sama maka tidak ada problem yang berarti antara satu metode dengan metode lainnya saling menguatkan dan tidak ada pertentangan. Namun jika terdapat dan terjadi perbedaan, bahkan jika perbedaannya sangat signifikan, tentu ini menjadi tantangan dan catatan bagi para periset, termasuk periset tim Kementerian Agama. Karena itu disini tampak arti penting sinergi-kolaborasi antar periset-peneliti fajar dan sekaligus arti penting keterbukaan data dan saling tukar data. Sebuah data betapapun sangat istimewa tentu tidak boleh dimonopoli dengan cara telaah dan metode tertentu saja tanpa diuji-komparasi dengan cara dan metode lain, sebab data tersebut nantinya berkaitan dengan sah-tidaknya ibadah umat Islam sehingga validasi dan akurasi dari berbagai analisis dan sudut pandang niscaya diperlukan. Terlebih jika data itu diperoleh oleh lembaga Pemerintah (Kementerian Agama) dengan menerjunkan sejumlah pakar yang notabenenya operasional dan fasilitasnya menggunakan uang negara.
Urgensi uji-komparasi data itu dipandang penting diantaranya berangkat dari pengalaman analisis data SQM Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur) beberapa tahun silam. Seperti diketahui ada dua arus kesimpulan tentang awal waktu Subuh ketika itu, Kementerian Agama berisikeras menyatakan bahwa data Labuan Bajo itu adalah -20 derajat, sementara beberapa peserta lainnya menyatakan tidak -20 derajat. Salah satu penyebab perbedaan kesimpulan itu tidak lain adalah karena perbedaan cara telaah dan metode pengolahan data yang dilakukan. Atas perbedaan itu pula diskursus awal waktu Subuh terus bergulir bahkan sampai saat ini. Karena itu sekali lagi data-data riset fajar yang ada (termasuk data Timau) tersebut perlu dilakukan uji-komparasi demi memberikan kepastian dan kenyamanan kepada semua periset dan umat. Wallahu a’lam[]