Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Penetapan awal Syawal 1443 H telah berlalu, idul fitri dilaksanakan secara serentak antara Pemerintah, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan ormas lainnya. Secara sosiologis, kebersamaan ini patut disyukuri karena dinamisnya perbincangan masalah ini sebelum diputuskan jatuh tanggal 2 Mei 2022 sebagai tanggal 1 Syawal 1443 H oleh Pemerintah. Seperti diketahui, untuk tahun ini Pemerintah (Kementerian Agama) telah memberlakukan kriteria baru MABIMS 3-6.4, namun dalam implementasinya ada sejumlah paradoks, khususnya untuk awal Syawal 1443 H yang patut untuk dicatat dan telaah.
Pertama, data astronomis awal Syawal 1443 H sesungguhnya tidak memenuhi kriteria 3-6,4 dengan asumsi sudut elongasi bulan-matahari saat gurub secara toposentrik. Dalam teks Ad-Referendum (dasar penggunaan kriteria 3-6,4) dipahami dan tidak bisa ditafsirkan lain kecuali bahwa 3-6.4 (ketinggian dan sudut elongasi) penerapannya secara kumulatif, bukan terpisah, yang ditunjukkan dengan kata sambung “dan”. Berikut pernyataan Ad-Referendum tersebut,
“…telah bersetuju dan mengesahkan bagi pelaksanaan Kriteria Imkanur Rukyah baharu MABIMS (tinggi 3 darjah dan elongasi 6.4 darjah)”.
Dengan demikian, dalam konteks kriteria 3-6.4, penetapan awal Syawal yang jatuh pada tanggal 2 Mei oleh Pemerintah sesungguhnya adalah putusan yang dipaksakan, politis, dan ada tekanan psikologis. Dipaksakan karena data astronomis awal Syawal untuk sudut elongasi secara toposentrik sesungguhnya belum memenuhi 3-6.4, kecuali secara geosentrik di teritorial ujung Sumatera. Politis karena jika ditetapkan tanggal 3 Mei 2022 dipastikan akan berbeda dengan Muhammadiyah yang menetapkan tanggal 2 Mei 2022, dan Pemerintah kembali akan mendapat sorotan tidak mampu menyatukan dan kesan kriteria baru tetap menghadirkan perbedaan, sehingga untuk maslahat lebih baik diputuskan tanggal 2 Mei 2022. Sementara itu tekanan psikologis adalah karena tren keterlihatan hilal yang sudah begitu masif oleh perukyat di Indonesia dimana hilal dengan ketinggian 2 derajat, bahkan dibawah itu, kerap diklaim terlihat, apatah lagi posisi hilal yang sudah diatas 3 derajat dan elongasi diatas 6 derajat sebagaimana data hilal awal Syawal tahun ini tentu akan lebih mudah ‘terlihat’ oleh perukyat di lapangan. Dengan pertimbangan ini tampaknya Pemerintah mengambil jalan tengah menetapkan awal Syawal jatuh tanggal 2 Mei 2022, bukan 3 Mei 2022.
Kedua, adapun jika dengan asumsi geosentrik, sudut elongasi 6.4 derajat memang telah terpenuhi namun hanya untuk wilayah ujung Sumatera (Aceh). Jika mengacu data ini, maka secara konsep (keterpenuhan kriteria) dan acuan keterlihatan hilal seharusnya berdasarkan data dan keterlihatan hilal di dan dari Aceh, bukan dari wilayah lain. Namun dalam faktanya sebagaimana isbat Kementerian Agama pada penetapan awal Syawal 1443 H, Menteri Agama menyatakan dasar penetapan awal Syawal 1443 H jatuh pada tanggal 2 Mei 2022 adalah karena ada laporan rukyat, namun Menteri Agama tidak menyebutkan dimana dan oleh siapa keterlihatan itu. Hingga saat ini setidaknya belum ada informasi bahwa hilal terlihat di Aceh. Maka, apa yang diputuskan Pemerintah (Kementerian Agama) saat Sidang Isbat awal Syawal 1443 adalah sebuah paradoks atas konsep dan kriteria baru MABIMS 3-6.4. Ini kembali memperjelas bahwa kriteria 3-6,4 itu tidak dirumuskan secara matang, tanpa uji-simulasi yang cukup, dan tanpa uji lapangan yang memadai. Di media sosial, yang beredar justru ‘keterlihatan’ di pulau Jawa, bukan di Sumatera (Aceh).
Bila ditelaah, keputusan Kementerian Agama, yang diumumkan oleh Menteri Agama, sesungguhnya berasal dari masukan unsur struktural yang ada di jajarannya, dalam hal ini Subdirektorat Hisab Rukyat dan Syariah, yang mengakomodasi dan mengkoordinir Tim Unifikasi Kalender Hijriah (Tim UKH). Hal ini sama juga halnya dengan perubahan 2-3-8 menjadi 3-6.4 yang betapapun ditandatangani oleh Menteri Agama namun sesungguhnya berawal dan berasal dari masukan, kajian, dan usulan Subdirektorat Hisab Rukyat dan Syariah dan khususnya Tim UKH. Karena itu, paradoks atas 3-6.4 ini juga sesungguhnya ada peran para tim UKH di dalamnya. Tokoh-tokoh, pakar-pakar, dan perwakilan-perwakilan yang ada dalam tim UKH bertanggung jawab secara moral-intelektual untuk merumuskan kriteria terbaik dan termaslahat, karena sekali lagi mereka dibiayai dan difasilitasi Negara dari uang rakyat (APBN). Untuk itu Kementerian Agama perlu lebih selektif dalam memilih Tim UKH, tidak sekedar memenuhi kuota keterwakilan dari berbagai unsur (institusi dan pakar), apalagi sesuai ‘selera’ dan ‘kepentingan’, namun patut mempertimbangkan kualitas, efektivitas, dan produktivitas setiap utusan.
Ketiga, paska penetapan awal Syawal 1443 H, terbukti penerapan kriteria baru 3-6.4 di tingkat MABIMS tidak seragam dan tidak konsisten, dimana seharusnya semua negara MABIMS berlebaran pada tanggal 3 Mei 2022 dengan alasan poin pertama dan kedua di atas. Kecuali negara Singapore yang menetapkan awal Syawal jatuh tanggal 3 Mei 2022, yang secara konsep dan kriteria negara ini konsisten menerapkan kriteria baru MABIMS 3-6.4 tersebut. Ketidak seragaman ini membuktikan bahwa rumusan MABIMS baru ini hanya berlaku untuk lokal (negara masing-masing), bukan untuk digunakan secara regional-bersama. Praktik penerapan awal Syawal ini juga kembali menegaskan arti ketiadaan urgensi otoritas dalam skop global, karena dalam skop regional sekalipun sudah sulit seperti tampak dalam penetapan awal Syawal 1443 H tahun ini. Karena itu, pemahaman otoritas dikembalikan kepada negara masing-masing adalah sesuatu yang tidak berguna untuk dikemukakan, tanpa narasi itu sekalipun otoritas tiap negara telah berlaku dan berjalan.
Keempat, kriteria baru MABIMS 3-6,4 yang diharapkan menjadi solusi terbukti justru semakin menimbulkan polemik, baik di tingkat ahli maupun di tingkat masyarakat, terutama di media sosial. Secara kriteria, 3-6.4 memang lebih logis dari 2-3-8, betapapun belum dengan bukti dan uji lapangan yang memadai. Polemik yang muncul justru lebih dipicu karena tidak konsisten dalam menerapkan kriteria baru tersebut. Apologi jika otoritas (Pemerintah) sudah menetapkan maka harus diterima dan diikuti, lalu hilal yang dilaporkan terlihat betapapun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dianggap dan dipaksakan sebagai hilal syar’i, adalah narasi pamungkas yang kerap dikemukakan, padahal ini suatu paradoks secara saintifik, terlebih jika di rekonstruksi ke zaman dan praktik sepanjang sejarah peradaban Islam.
Kelima, bila direkonstruksi secara historis-astronomis, keterlihatan dan atau kemungkinan keterlihatan hilal (imkan rukyat) dalam sejarah penentuan awal bulan sepanjang sejarah sesungguhnya logis dan ilmiah. Apa yang dipraktikkan Nabi Saw dan sahabat melalui rekonstruksi yang dilakukan sejumlah peneliti (diantaranya oleh Syamsul Anwar), lalu rekonstruksi literatur para astronom Muslim (diantaranya oleh penulis sendiri), lalu penelusuran sejarah, arsip, dan dokumen oleh Shalih al-Sya’b (dari Arab Saudi), menunjukkan bahwa keterlihatan dan atau kemungkinan keterlihatan hilal itu logis dan ilmiah, bukan kompilasi dan kompromi, apalagi imajinasi. Imkan rukyat dalam pengertian dan implementasinya sesungguhnya adalah wilayah ilmiah-saintifik, sedangkan isbat adalah wilayah otoritas dan politik. Karena itu, terlepas dari otoritas isbat dan politik yang dimiliki sebuah negara, seyogianya tidak mendistorsi imkan rukyat yang sesungguhnya logis dan ilmiah hanya demi kepentingan dan atas nama “otoritas”. Dalam hal ini penting untuk mengakomodasi dan meletakkan imkan rukyat secara proporsional yang bersesuaian secara sains yang secara otomatis berterima secara syariat. Wallahu a’lam[]