Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Rukyat adalah salah satu metode penentuan awal bulan dalam Islam. Metode ini bersumber dari hadis-hadis Nabi Saw yang menjelaskan tentang rukyatul hilal. Dalam sejarah, mayoritas fukaha menggunakan rukyat dalam penentuan awal bulan sebagaimana dapat dilihat dalam karya-karya mereka, betapapun saat yang sama ada segelintir fukaha yang mengapresiasi penggunaan hisab. Secara epistemologi, rukyat memiliki posisi yang kuat sehingga metode ini terus bertahan dan digunakan sampai hari ini. Prinsip dasar rukyat adalah manakala masuk tanggal 29 (setiap bulan kamariah) maka hilal akan dilihat (rukyat), yang jika terlihat maka hari berikutnya awal bulan dinyatakan telah tiba, sementara jika tidak terlihat maka bilangan bulan yang sedang berjalan digenapkan menjadi 30 hari (dikenal dengan ‘istikmal’) dan awal bulan ditunda menjadi esok harinya. Metode ini berkembang di zaman Nabi Saw dan Sahabat, lalu Tabiin, dan seterusnya.
Memasuki era ilmuwan Muslim, hilal yang notabenenya merupakan bagian dari kajian astronomi menjadi konsen para ilmuwan Muslim. Dari para ilmuwan ini akhirnya muncul standar dan parameter ketinggian hilal yang hari ini dikenal dengan imkan rukyat (Arab: imkan ar-ru’yah) yang secara sederhana bermakana “kemungkinan keterlihatan hilal”. Ambang batas kemungkinan keterlihatan hilal itu sendiri berbeda antara satu tempat dengan tempat lain dan antara satu periode (waktu) dengan periode (waktu) lain, dan seterusnya.
Di Indonesia pra-Kemerdekaan, tradisi rukyat menjelang Ramadan dan Syawal juga merupakan aktivitas penting dan prioritas, terutama bagi umat Islam yang meyakini rukyat sebagai satu-satunya cara dan meyakini praktik rukyat sebagai ibadah (ta’abbudy) yang harus dilakukan. Sejak lama tradisi rukyat di tengah masyarakat telah berkembang tanpa ada aturan formal dan definitif yang mengaturnya, tiap-tiap masyarakat berhak menentukan jatuhnya awal bulan Ramadan dan Syawal. Setiap umat Islam ketika itu intens melakukan rukyat, tujuannya tidak lain untuk memastikan masuknya awal bulan sesuai syariat. Dalam konteks ini diskursus penentuan awal bulan masih dalam skop komunal terbatas, bahkan adakalanya masih dalam skop personal.
Memasuki pasca Kemerdekaan, khususnya setelah lahirnya Departemen Agama (kini Kementerian Agama), rukyat diformalisasi Negara (Kementerian Agama) menjadi salah satu metode penentuan awal bulan, bersama hisab. Sebagai tertib dan panduannya, Kementerian Agama membuat batasan imkan rukyat yang awalnya ditetapkan 2-3-8, dan kini berubah menjadi 3-6.4. Hanya saja, betapapun rukyat dan batasannya telah diformalkan, masyarakat Muslim baik secara komunal maupun personal, masih bebas melaksanakan rukyat tanpa mengindahkan batasan (imkan) yang ditetapkan Kementerian Agama, yang terus berlangsung sampai saat ini. Sampai Syawal 1443 H lalu, praktik rukyat oleh masyarakat tak terbendung, semua umat Islam yang tergerak melaksanakan rukyat bebas melakukannya dan merdeka pula mengamalkan hasil rukyatnya.
Karena itu dalam konteks ini yang menjadi problem sesungguhnya adalah bagaimana regulasi dan sekaligus ketegasan Kementerian Agama dalam masalah ini. Kesaksian melihat hilal yang tidak sesuai dan tidak memenuhi standar ilmiah, serta klaim-klaim melihat hilal yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan (astronomi) kerap muncul tanpa Negara (Kementerian Agama) mampu menertibkannya. Parahnya, klaim-klaim ini adakalanya dilegitimasi oleh Kementerian Agama melalui hakim-hakim yang ditugaskan sebagai dasar dan legalitas penentuan awal bulan. Pembiaran, bahkan penerimaan Kementerian Agama atas praktik-praktik rukyat yang tidak logis ini terjadi karena berangkat dari pemahaman bahwa setiap saksi (perukyat) selama disumpah, selama Muslim, selama ia yakin dengan yang dilihatnya, maka tidak ada alasan untuk menolaknya, sehingga dianggap sah, yang berikutnya kesaksian melihat hilal semacam ini disebut “hilal syar’i”. Parahnya lagi, praktik semacam ini dibenarkan oleh segelintir pakar (ilmuwan astronomi) yang seharusnya memberi kejelasan saintifik atas kesaksian hilal yang problematik tersebut.
Sebagai misal, betapapun kini Kementerian Agama telah menetapkan kriteria baru 3-6.4, tampaknya kriteria ini tidak menjadi pedoman bagi perukyat-perukyat di lapangan. Masyarakat tetap meyakini apa yang dilihatnya di lapangan adalah yang sahih dan menjadi pedoman. Informasi akan praktik-praktik semacam ini secara mudah dapat dilihat di media sosial, yang terus berlangsung setiap tahun. Karena itu disini tampak ketidakberdayaan Negara (Kementerian Agama) dalam mengurus dan menertibkan masalah ini.
Karena itu, dari narasi dan deskripsi di atas dapat dikemukakan beberapa catatan berikut: pertama, Kementerian Agama harus tegas dan konsisten melaksanakan regulasi dan keputusan penentuan awal bulannya (yaitu imkan rukyat 3-6.4), dan saat yang sama Kementerian Agama mesti secara tegas menolak klaim-klaim rukyat yang tidak logis dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tegasnya, Kementerian Agama harus berani menolak setiap laporan rukyat yang masih berada di bawah ambang batas 3-6.4. Kedua, saat yang sama Kementerian Agama bertanggungjawab memberi penjelasan perihal rukyat yang tidak ilmiah tersebut, terutama kepada perukyat-perukyat yang rutin terjun di lapangan. Kementerian Agama tidak boleh hanya berpangku tangan dengan semata membuat regulasi prosedural-birokratik, misalnya hanya dengan menyodorkan kriteria 3-6.4 untuk diikuti dan dipatuhi.
Ketiga, Kementerian Agama harus memberi panduan, batasan, dan wawasan, kepada hakim-hakim yang bertugas di lapangan, tidak semua kesaksian perukyat dapat diterima hanya dengan alasan perukyat seorang Muslim, tidak berbohong, siap disumpah, dan seterusnya. Sebab sebuah ibadah yang berdimensi pembuktian empirik tidak cukup hanya dengan pembuktian integritas (Muslim, disumpah, dan seterusnya), kombinasi keduanya merupakan jalan tengah dan solusi terbaik.
Jika Kementerian Agama tidak tegas dan terus membiarkan klaim-klaim rukyat yang tidak logis dan imajinatif, maka praktik yang sama akan terus bermunculan di masa yang akan datang, dan dalam kondisi ini kembali dan seterusnya Negara (Kementetian Agama) tak berdaya mengurus masalah ini. Padahal sekali lagi, Kementerian Agama bertanggungjawab, dan Kementetian Agama memiliki struktur dan perangkat yaitu Subdirektorat Hisab Rukyat yang seyogianya dapat tegas bertindak dan jelas berbuat. Wallahu a’lam[]