Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Pengkajian imkan rukyat atau visibilitas hilal sejatinya telah berkembang sejak zaman pra-Islam, dimana ada sejumlah catatan dan informasi sejarah yang menunjukkan adanya rumusan dan standar visibilitas (keterlihatan hilal) ketika itu. Dalam konteks pra-Islam, pengkajian imkan rukyat lebih digunakan untuk tujuan-tujuan praktis-pragmatis seperti penanggalan, ritual penyembahan, peramalan, dan lainnya. Namun juga adakalanya pengkajian imkan rukyat kala itu dalam rangka penelitian dan penelaahan langit untuk tujuan ilmiah, seperti dilakukan Ptolemeus. Dalam perkembangannya, melalui praktik-praktik observasi yang dilakukan oleh orang-orang di zaman silam ini menginisiasi munculnya ragam teori dan konsepsi hilal seperti berkembang hari ini.
Berikut ini adalah beberapa standar imkan rukyat (visibilitas hilal) sebagaimana berkembang di zaman pra-Islam berdasarkan sejumlah informasi dan literatur:
Pertama, Imkan Rukyat 48 Menit atau 12 Derajat. Imkan rukyat ini adalah yang paling populer dalam literatur klasik, antara lain dipedomani oleh orang-orang India dan Babilonia. Rumusan ini berpedoman berdasarkan perhitungan sudut antara bulan dan matahari atau yang dikenal dengan sudut elongasi. Dalam perkembangannya standar visibilitas ini banyak dipedomani umat Islam (ilmuwan Muslim) generasi awal. Menurut Nidhal Qassum (1997) konsep dan standar visibilitas ini sejatinya ‘buruk’ (sayyi’) karena tidak memasukkan faktor-faktor lain seperti ketebalan hilal, azimut bulan, lokasi observasi, dan lain-lain (Qassum dkk, 1997).
Kedua, Imkan Rukyat Babilonia. Babilonia dikenal sebagai bangsa (peradaban) yang memiliki banyak telaah dan kontribusi di bidang astronomi. Salah satu kontribusi Babilonia adalah konstruksinya terkait imkan rukyat (visibilitas hilal). Adapun standar visibilitas (imkan rukyat) yang pernah berkembang di zaman ini antara lain menetapkan dua syarat yaitu: (1) umur bulan lebih 24 jam, dan (2) mukus bulan (periode gurub matahari-bulan) tidak kurang dari 48 menit (atau setara 12 derajat) [Audah, 2006]. Dua syarat ini harus terpenuhi agar hilal dapat terlihat secara visual. Dalam perkembangannya, parameter ini banyak diadopsi oleh tokoh-tokoh astronomi dalam Islam seperti Al-Khawarizmi (w. 232 H/848 M), Al-Battani (w. 317 H/929 M), Al-Biruni (w. 440 H/1048 M), dan lainnya.
Ketiga, Imkan Rukyat India. David A King dalam artikelnya yang berjudul “Some Early Islamic Tables for Determining Lunar Crescent Visibilty” menginformasikan bahwa tabel-tabel astronomi (zij) yang berkembang di periode Islam banyak terpengaruh oleh tradisi astronomi India. Menurutnya, imkan rukyat yang berkembang di periode ini adalah berdasarkan perbedaan waktu gurub matahari-bulan sebesar 12 derajat (atau 48 menit busur). Adapun perbedaan waktu gurub menurutnya bergantung pada 3 faktor yaitu bujur matahari-bulan dan selisih keduanya, lintang bulan, dan lintang suatu tempat. Dengan demikian menurutnya keterlihatan hilal adalah ketika lebih besar atau diatas 12 derajat (King, 1993).
Keempat, Imkan Rukyat Ptolemeus. Ptolemeus adalah astronom (dan astrolog) asal Yunani yang pemikiran astronomisnya (terutama dengan karyanya Almagest) banyak memengaruhi astronomi di dunia Islam. Dalam masalah hilal, seperti dikemukakan Regis Morlan, Ptolemeus sesungguhnya tidak memiliki rumusan spesifik, ia lebih memfokuskan pengkajian bintang-bintang secara umum. Namun dalam hal ini ia memberi standar agar benda langit (diantaranya hilal) dapat terlihat meniscayakan adanya apa yang disebut dengan sudut elongasi (Latin: arcus visionis, Arab: qaus ar-ru’yah) [Morlan, 2005]. Karena itu dalam konteks kajian rukyat dan imkan rukyat di era Islam, sumbangan Ptolemeus adalah konsepsinya tentang sudut elongasi tersebut.
Selain empat konsepsi dan parameter imkan rukyat ini, diduga masih ada lagi konsepsi-konsepsi tentang hal ini yang berkembang di zaman pra-Islam. Dari empat pemikiran dan konsepsi imkan rukyat ini tampak bahwa rumusan atau standar imkan rukyat sebagaimana berkembang di zaman pra-Islam, dengan tujuan dan fungsinya masing-masing, sesungguhnya berada dalam ambang batas yang cukup tinggi yaitu rata-rata menetapkan minimal 12 derajat, dan sejak itu telah ada rumusan tentang sudut elongasi (yaitu jarak sudut bulan dan matahari) seperti dirumuskan oleh Ptolemeus. Dari informasi ini juga menunjukkan bahwa standar dan atau parameter ketinggian hilal untuk dapat terlihat atau memungkinkan terlihat sesungguhnya ril, berdasarkan uji lapangan (observasi), bukan berdasarkan kompromi dan kompilasi, apalagi imajinasi. Wallahu a’lam[]
Sumber :
- David A King, Some Early Islamic Tables for Determining Lunar Crescent Visibilty, 1993.
- Regis Morlan, ‘Ilm al-Falak al-‘Araby al-Syarqy baina al-qarnain al-Tsamin wa al-Hady ‘Asyara, 2005.
- Nidhal Qassum dkk, Itsbat al-Syuhur al-Hilaliyah wa Musykilah al-Tauqit al-Islamy (Dirasah Falakiyyah wa Fiqhiyyah), 1997.
- Muhammad Syaukat Audah, Mi’yar Jadid li Ru’yah al-Hilal, 2006.
- Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Visibilitas Hilal Menurut Astronom Muslim Abad 9-15 M, 2020.