Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Pengkajian hilal (bulan sabit) sangat intens dilakukan para astronom Muslim di peradaban Islam. Telaah ilmiah dan terutama karena keterkaitannya dengan ibadah menjadi alasan utama kajian ini intens dan dinamis dilakukan. Melalui penelusuran karya-karya para astronom Muslim di peradaban Islam akan tampak seperti apa rumusan mereka tentang imkan rukyat tersebut. Berikut ini akan ditampilkan 7 rumusan imkan rukyat oleh 7 astronom Muslim dalam karya mereka yang terbentang sejak abad ke-3 H/9 M hingga abad ke-7 H/13 M. Jumlah ini tentunya masih amat segelintir bila dibandingkan dengan jumlah astronom Muslim yang ada dalam sepanjang sejarah peradaban Islam.
Pertama, Al-Khawarizmy (w. 232 H/848 M). Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad bin Musa al-Khawarizmy. Diantara rumusannya dalam masalah imkan rukyat diantaranya terdapat dalam karyanya yang berjudul “Zij al-Khawarizmy” (Zij al-Khawarizmi) yang terhitung sebagai karya tabel (zij) pertama di dunia Islam. Dalam karyanya ini Al-Khawarizmy menetapkan imkan rukyat (visibilitas hilal) berdasarkan pada parameter visibilitas yang populer di India yaitu 12 derajat (King, 1993).
Kedua, Al-Battany (w. 317 H/929 M). Nama lengkapnya Abu ‘Abdillah Muhammad bin Jabir bin Sinan al-Harrany ar-Raqqy ash-Shaby’ al-Battany. Diantara karyanya yang di dalamnya terdapat rumusan mengenai imkan rukyat adalah “az-Zaij al-Shaby’ “ (Zij Sabean), dikenal juga dengan “Zij al-Battany” (Zij al-Battani) yang ditahkik oleh Carlo Nillino (Italia). Menurut Al-Battany, hilal tidak mungkin terlihat sebelum terjadi ijtimak. Selanjutnya jarak bumi dan bulan memengaruhi ketebalan hilal dan peluang keterlihatannya. Selain itu menurutnya dalam aktivitas rukyat meniscayakan langit yang cerah (shafa’ al-jaww), mata yang awas (tajam), dan lainnya. Dalam hal ini Al-Battany menyatakan hilal akan dapat terlihat pada posisi 11 derajat 47 menit dan atau 12 derajat (Al-Battany, 1899).
Ketiga, Al-Biruny (w. 440 H/1048 M). Nama lengkapnya Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruny. Salah satu karya agungnya di bidang astronomi adalah “al-Qanun al-Mas’udy” (Kanun Mas’ud) yang di dalamnya terdapat pembahasan rukyatul hilal. Dalam konteks ini, Al-Biruny menyatakan bahwa keterlihatan hilal bergantung banyak faktor seperti alat, wawasan, ketajaman mata, dan lain-lain. Selain itu, hilal ketika di sekitarnya sangat terang maka akan sulit terlihat. Menurutnya lagi, imkan rukyat pada dasarnya nyata dan logis (hissy). Adapun standar keterlihatan hilal menurutnya adalah ketika posisinya 12 derajat di atas ufuk.
Keempat, Ibn Yunus (w. 399 H/1008 M). Nama lengkapnya ‘Ali bin ‘Abd ar-Rahman bin Ahmad bin Yunus al-Mashry, salah satu karyanya berjudul “az-Zaij al-Hakimy” (Zij al-Hakim). Dalam karyanya ini Ibn Yunus menetapkan 3 parameter hilal untuk dapat terlihat, yaitu (1) qaus al-mukts, (2) tebal hilal, dan (3) durasi edar bulan dalam sehari (yaitu 12-14.5 derajat perhari). Selanjutnya menurutnya bagian bercahaya bulan (had an-nur) minimal 10 derajat, lalu tinggi hilal minimal 6 derajat atau 6.5 derajat.
Kelima, Ibn Syathir (w. 777 H/1375 M). Nama lengkapnya Ala’uddin Abu al-Hasan ‘Ali bin Ibrâhim bin Muhammad bin al-Anshary. Seperti dikutip Raja’iy Sayyid al-Faqy dalam karyanya “Mizan al-I’tidal fi Tsubut Ru’yah al-Hilal” (2005) menyatakan bahwa keterlihatan hilal berbeda berdasarkan lokasi, waktu, dan musim. Dalam standar keterlihatan (visibilitas)nya Ibn Syathir berpedoman kepada terjadinya ijtimak (konjungsi), dalam hal ini ia menetapkan hilal akan terlihat manakala sesudah ijtimak 21 jam 48 menit. Sementara itu imkan rukyat menurutnya sebagaimana dikutip Raja’iy Sayyid al-Faqy adalah ketika posisi hilal 12 derajat.
Keenam, Al-Marrakusyi (w. stl. 680 H/1281 M). Nama lengkapnya Abu ‘Ali al-Hasan bin ‘Ali bin Umar al-Marrakusyi. Salah satu karyanya berjudul “Jami’ al-Mabady’ wa al-Ghayat fi ‘Ilm al-Miqat” yang terhitung sebagai salah satu karya ensiklopedik astronomi terbesar dalam sejarah Islam. Dalam karya ini disebutkan bahwa hilal akan terlihat manakala ketinggiannya tidak kurang dari 6.5 derajat, yang jika dibawah ambang itu maka hilal tidak terlihat. Sementara dalam sub pembahasan lain dalam karyanya ini Al-Marrakusyi menetapkan hilal akan dapat terlihat ketika posisinya 7 derajat 45 menit, yang jika dibawah itu maka tidak akan terlihat. Dalam karya ini aspek-aspek fisis dan astronomis hilal dijelaskan secara detail dan komprehensif.
Ketujuh, Al-‘Urdhy (w. 664 H/1266 M). Nama lengkapnya Mu’ayyiddin al-‘Urdhy ad-Dimasyqy, diantara karyanya “Kitab al-Hai’ah” (Tarikh ‘Ilm al-Falak al-‘Araby) yang telah di tahkik oleh George Saliba. Menurutnya, penentuan sudut ketinggian hilal adalah hal sulit jika dibandingkan dengan benda langit lainnya. Faktor-faktor dalam rukyat menurutnya ada dua yaitu dzatiyah (esensial) dan ‘aradhiyah (eksternal). Adapun kemungkinan keterlihatan hilal (imkan rukyat) menurutnya adalah manakala sudut elongasi (qaus ar-ru’yah) bulan-matahari tidak kurang dari 7 derajat. Disini tampak bahwa Al-‘Urdhy hanya menggunakan parameter sudut elongasi. Selanjutnya dalam “Kitab al-Hai’ah” ini juga aspek-aspek fisis dan matematis dijelaskan secara cukup lengkap.
Dari 7 rumusan singkat di atas tampak bahwa pengkajian imkan rukyat sejatinya sangat intens, dinamis, dan kontinu dilakukan oleh para astronom Muslim. Ambang batas imkan rukyat juga mengalami perbedaan dan perkembangan seiring waktu dan dipengaruhi banyak faktor (lokasi, cuaca, kualitas mata, dan lain-lain). Secara umum, ambang batas imkan rukyat di kalangan astronom Muslim berkisar antara 6 derajat sampai 12 derajat. Kisaran angka ini sekali lagi menunjukkan bahwa imkan rukyat itu ril, logis, dan ilmiah, dan sangat jauh dari kompromi, kompilasi, apalagi imajinasi. Wallahu a’lam[]