Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Buku “Ru’yah al-Hilal fi al-Tarikh al-Islamy” ini adalah karya Shalih bin Muhammad al-Sha’b, seorang peneliti astronomi di “Madinah al-Malik ‘Abd al-‘Aziz li al-‘Ulum wa al-Taqniyah” (King Abdulaziz City for Science and Technology) Riyadh, Arab Saudi. Terdiri dari 143 halaman, diterbitkan di Riyadh, Arab Saudi, tahun 1437 H/2016 M. Buku ini menginformasikan tren ambang batas imkan rukyat sepanjang sejarah Islam yaitu sejak tahun 10 H sampai tahun 1430 H. Penelitiannya ini didasarkan pada data literatur (buku), arsip, dan dokumen. Dalam buku ini dianalisis sekitar 3500 peristiwa dan 5 ribu informasi (sejak tahun 10 H sampai tahun 1430 H). Dalam setiap peristiwa diperjelas dengan informasi data astronomis tentangnya yaitu data konjungsi, data elongasi, dan data ketinggian hilal.
Latar belakang Al-Sha’b meneliti hal ini adalah karena maraknya klaim melihat hilal belakangan ini di berbagai negeri yang tidak sesuai fakta ilmiah. Diantaranya ada yang mengklaim melihat hilal pada ketinggian 1 atau 2 derajat, bahkan lebih rendah lagi, yang tentunya ini tidak logis (h. 29). Karena itu tujuan penelitian Al-Sha’b adalah mengetahui keadaan hilal di zaman silam itu dan membandingkannya dengan hari ini, lalu melakukan kajian atasnya. Untuk hal ini Al-Sha’b melakukan 5 langkah, yaitu (h. 30-32):
- Menelaah buku-buku (literatur-literatur) yang berisi informasi historis yang menerangkan hari (tanggal), bulan, dan tahun, yang dimulai dari era Nabi Saw hingga tahun 1430 H. Dalam hal ini yang menjadi fokus utama adalah bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah.
- Menentukan hari (tanggal) semua bulan yang memungkinkan dikodefikasi dengan menyertakan sumber rujukannya.
- Menggunakan sofware astronomi guna menentukan keadaan hilal saat terbenam dan kondisi hilal satu hari sebelumnya. Dalam hal ini yang ditentukan adalah: (1) ketinggian (irtifa’) hilal saat terbenam, dan (2) elongasi (mukts) berdasarkan lokasi geografis masing-masing. Lalu mencatat kesimpulan keadaan hilal di dua hari itu bersama keterangan permulaan harinya.
- Uraian dan kesimpulan, yang meliputi: rata-rata ketinggian dan elongasi hilal tiap abad, jumlah bulan yang posisi hilalnya terlihat kurang dari 5 derajat dan persentasenya, jumlah bulan yang hilalnya terlihat kurang dari 3 derajat dan persentasenya, dan jumlah bulan yang hilalnya diklaim terlihat (rukyat mustahil) padahal bulan sudah terbenam lebih dahulu dari matahari, serta persentasenya.
- Kesimpulan
Adapun metode penelitian yang digunakan Al-Sha’b adalah dengan mengumpulkan buku-buku (literatur-literatur) yang berisi informasi seperti buku-buku tentang sejarah, perang (al-maghazy), peristiwa-peristiwa, bibliografi, sejarah Mekah, sejarah negeri-negeri, peristiwa haji, informasi sejarah tentang terjadinya gerhana, komet dan meteor, dan lain-lain. Demikian lagi data-data arsip dan dokumen. Dalam hal ini Al-Sha’b mencatat informasi tanggal (hari) kejadian peristiwa pada bulan kejadian. Misalnya, tatkala sebuah sumber sejarah menyebutkan bahwa Nabi Saw melakukan perjalanan pada hari Senin, 27 Zulkaidah tahun 10 H, dari Madinah menuju Mekah guna menunaikan ibadah haji. Ini menunjukkan bahwa pada bulan itu (Zulkaidah) tahun 10 H, awal bulan (tanggal 1 nya) adalah hari Rabu.
Al-Sha’b juga menerakan keadaan hilal 1 hari sebelumnya (al-yaum al-asbaq), yaitu ketika ada selisih sekitar 10 derajat. Misal, awal Ramadan tahun 40 H terjadi pada hari Sabtu (sumber: buku “Maqtal al-Imam ‘Aly ibn Aby Thalib Radhiya Allah ‘anhu”). Sedangkan hari sebelumnya (Jumat) posisi hilal 18.7 derajat (elongasi 1 jam 58 menit). Hal ini tentu memunculkan pertanyaan, adakah logis bahwa hilal tidak terlihat pada ketinggian ini (18.7 derajat)? Pada hari Kamis, ketinggian hilal adalah 6.9 derajat (elongasi 51 menit), maka dalam hal ini rukyat terbilang sulit, kecuali pada hari Jumat nya (h. 32-35).
Selain itu, di buku ini juga dikemukakan pembahasan-pembahasan singkat namun relevan seperti gambaran umum tentang kalender Islam (h. 7-9), rukyatul hilal dalam Islam (h. 9-11), aspek astronomis hilal (h. 11-15), hadis-hadis terkait (h.15-17), bagaimana hilal muncul (h. 17-18), perbedaan bentuk hilal dari satu bulan ke bulan berikutnya (h. 18-19), standar-standar populer rukyatul hilal (h. 19-22), ilmu falak dan rukyatul hilal (h. 23-26), urgensi hisab astronomi (h. 26-27), rukyatul hilal dan teleskop (h. 27-28), dan pembahasan tentang interkalasi (an-nasi’) di jaman Jahiliyah (h. 35-36).
Selebihnya, hampir ¾ dari isi buku ini berupa tabel elongasi dan ketinggian hilal sejak tahun 10 H sampai tahun 1430 H (h. 37-131). Adapun tabel-tabel dan atau diagram posisi (ketinggian) hilal tiap-tiap abad itu berisi : (1) rata-rata ketinggian hilal tiap-tiap abad (abad 1 H sampai abad 15 H, (2) persentase ketinggian hilal tiap-tiap abad dengan posisi di bawah 5 derajat, (3) persentase ketinggian hilal tiap-tiap abad dengan keadaan hilal di bawah 3 derajat, (4) persentase rukyat mustahil yaitu posisi hilal di bawah ufuk (moonset sebelum sunset), dan (5) tabel rata-rata ketinggian, elongasi, persentase hilal di bawah 6.5º, di bawah 5º, di bawah 3º, dan moonset sebelum sunset, sejak abad 1 H – 15 H.
Adapun rata-rata ketinggian hilal secara umum mulai abad ke-1 H sampai abad ke-15 adalah sebagai berikut:
- Abad ke-1 H, ada 37 kasus, rata-rata ketinggian hilal 10.5º
- Abad ke-2 H, ada 67 kasus, rata-rata ketinggian hilal 10.8º
- Abad ke-3 H, ada 164 kasus, rata-rata ketinggian hilal 12.0º
- Abad ke-4 H, ada 215 kasus, rata-rata ketinggian hilal 11.7º
- Abad ke-5 H, ada 152 kasus, rata-rata ketinggian hilal 12.4º
- Abad ke-6 H, ada 267 kasus, rata-rata ketinggian hilal 12.3º
- Abad ke-7 H, ada 268 kasus, rata-rata ketinggian hilal 11.8º
- Abad ke-8 H, ada 437 kasus, rata-rata ketinggian hilal 12.5º
- Abad ke-9 H, ada 470 kasus, rata-rata ketinggian hilal 12.8º
- Abad ke-10 H, ada 157 kasus, rata-rata ketinggian hilal 12.7º
- Abad ke-11 H, ada 108 kasus, rata-rata ketinggian hilal 12.1º
- Abad ke-12 H, ada 139 kasus, rata-rata ketinggian hilal 10.7º
- Abad ke-13 H, ada 337 kasus, rata-rata ketinggian hilal 10.3º
- Abad ke-14 H [1], ada 129 kasus, rata-rata ketinggian hilal 9.8º
- Abad ke-14 H [2], ada 182 kasus, rata-rata ketinggian hilal 6.0º
- Abad ke-15 H, ada 73 kasus, rata-rata ketinggian hilal 3.6º
Grafik/persentase rata-rata ketinggian hilal sejak abad ke-1 H sampai abad ke-15 H (h. 135)
Dari tabel (5) tersebut tampak bahwa persentase ketinggian hilal (dan sudut elongasinya) sangat beragam yaitu adakalanya di bawah 3º, adakalanya di bawah 5º, dan adakalanya di bawah 6.5º, namun secara umum rata-rata berkisar antara 10-12 derajat. Adapun jumlah kasus (persentase) posisi hilal di bawah 3º , 5º, dan 6.5º jumlahnya tidak banyak, bahkan adakalanya di satu abad tertentu tidak ada sama sekali.
Melalui penelitian dokumen, arsip, dan literatur ini tampak bahwa ketinggian hilal dalam penentuan awal bulan sepanjang sejarah Islam cukup variatif, namun secara umum dan rata-rata berkisar antara 10-12 derajat, kecuali memasuki abad ke-15 H (3.6 derajat) yang terbilang unik. Fakta dan fenomena dari abad ke-1 H hingga abad ke-15 H ini kembali menegaskan bawah imkan rukyat dalam praktik dan penerapannya sejatinya sangat dinamis dan tentunya dipengaruhi banyak faktor. Penelitian Al-Sha’b ini memberi wawasan dan perspektif bagi para perukyat, terutama kepada Kementerian Agama RI, bahwa imkan rukyat itu dinamis, hanya saja kecendrungannya logis dan ilmiah, bukan imajinatif. Wallahu a’lam[]