Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Merupakan realita bahwa umat Muslim hari ini telah menyebar di penjuru Bumi, baik dalam jumlah yang dominan maupun minim. Persebaran ini sejatinya meniscayakan adanya aturan-aturan fikih yang akomodatif, terutama terkait penjadwalan waktu ibadah. Salah satu penjadwalan waktu ibadah yang sangat krusial yang perlu dicarikan solusi dan aturannya adalah masalah puasa dan hari raya, khususnya puasa arafah dan idul adha. Problem idul adha (dan puasa arafah) yang kerap jatuh berbeda dengan negara Arab Saudi cukup meresahkan masyarakat Muslim dunia, dan pada akhirnya mendorong para ulama dan ilmuwan untuk mengkajinya. Dan pada akhirnya muncul ide untuk merumuskan apa yang disebut dengan “Kalender Islam Global” (KIG).
Maksud besar KIG adalah menata dan mendata momen-momen ibadah umat Islam dalam sistem penjadwalan waktu yang definitif dan terunifikasi dan berlaku secara global (dunia). Sejauh ini telah ada upaya-upaya baik dalam tingkat lokal maupun internasional terkait perumusan KIG ini, meskipun belum mencapai tujuan seperti yang diharapkan. Namun patut diapresiasi bahwa ihtiar kearah ini telah ada dan telah pula dimulai.
Secara sosiologis, setidaknya ada dua arus pandangan umat Islam, khususnya di Indonesia, terkait perumusan KIG ini, yaitu pandangan optimis dan pandangan pesimis. Pandangan optimis lahir dari kesadaran akan kebutuhan sistem penjadwalan waktu yang terpadu guna menata aktivitas umat Muslim dunia sehari-hari, baik terkait sipil-administratif dan terlebih penting terkait ibadah. Disadari betapa kacaunya rutinitas dan aktivitas umat Muslim dunia hari ini tatkala belum ada dan belum tertatanya sistem penjadwalan waktu yang unifikatif yang berdampak tidak semata kekacauan pada penjadwalan waktu namun menjalar pada sektor ekonomi oleh karena terkait masalah kebijakan suatu negara.
Merupakan kenyataan pula bahwa mobilitas masyarakat Muslim dunia hari ini dengan segenap aktivitasnya telah begitu tinggi yang sekali lagi meniscayakan adanya penjadwalan waktu yang teratur dan konsisten. Padahal keteraturan dan konsistensi ini merupakan ciri agama Islam dan ajarannya. Adalah ironi dimana peradaban-peradaban lampau, misalnya peradaban Babilonia, sejak seribu tahun lebih yang silam telah memiliki sistem penjadwalan waktu (kalender) terpadu yang diterapkan pada suku-suku dan bangsa-bangsa pada waktu itu yang terintegrasi dan terunifikasi. Sementara Islam dan peradabannya yang telah hadir dan berusia 14 abad lebih di permukaan Bumi, sampai hari ini belum memiliki sistem penjadwalan (kalender) yang terpadu yang dapat digunakan oleh umat Muslim di seluruh dunia, baik pada level individu, komunitas, pemerintahan, dan terlebih dunia internasional. Sampai hari ini penjadwalan waktu di dunia Islam (khususnya terkait ibadah) masih terkotak-kotak dalam konsep lokal yang kerap ‘bertikai’ soal metoda dan kriteria.
Oleh karena itu, dengan merujuk sejarah masa lalu dan berikutnya memandang realita dunia hari ini dan kedepan, kiranya kehadiran “Kalender Islam Global” dipandang teramat penting dan mendesak. Penganut optimisme ini memandang bahwa merupakan ciri agama Islam dan ajarannya yang menekankan universalitas dan globalitas, dan ini sejalan dengan esensi kehadiran Nabi Saw sebagai rahmat bagi dunia (rahmatan lil ‘alamin).
Berbeda dengan para penganut optimisme, kalangan pesimisme memandang KIG sebagai sesuatu yang tidak mungkin bahkan mengada-ada. Adalah tidak mungkin menyatukan dunia dalam satu penjadwalan waktu, terlebih terkait momen ibadah oleh karena tidak adanya legalitas rumusan (baca: dalil) eksplisit yang menekankan akan hal itu. Oleh karena itu, ketidak mungkinan itu dipandang telah menjadi sunatullah. Oleh karena itu lagi, unifikasi kalender merupakan sesuatu yang tidak mungkin, bahkan ilusi.
Pesimisme ini didukung lagi dengan pandangan inward looking terkait konsep dan konteks lokal yaitu problem penentuan awal bulan yang belum juga ‘usai’ dalam tingkat lokal. Para penolak KIG berprinsip, seyogianya unifikasi kalender Islam dimulai dari lokal, lantas beranjak regional, baru kemudian ke tingkat internasional. Tahapan ini dipandang yang paling logis dan realistis, terlebih lagi dalam konteks Indonesia. Seperti dimaklumi, di internal Indonesia sampai hari ini masih ada keragaman konsep kalender dengan beranekanya metoda dan kriteria. Penyatuan nasional saja belum wujud, apatah lagi penyatuan internasional? Seyogianya kita menyelesaikan problem kalender lokal-nasional ini lebih dahulu, baru kemudian merumuskan dalam tingkat global. Demikian lebih kurang apologi dan argumentasi penolakan terhadap KIG ini.
Memang, apologi dan argumentasi di atas sekilas tampak logis dan realistis. Terlebih lagi di Indonesia perbedaan itu terjadi berulangkali dan dampaknya dirasakan oleh umat Muslim di negeri ini. Belum lagi ‘perseteruan’ di kalangan awam yang cukup menguras energi, dalam konteks ukhuwah tentu hal ini tidak baik. Namun jika dilihat dalam perspektif global dan dalam konteks yang lebih utuh, hal ini menjadi tidak sesederhana apologi di atas. Kita mengerti bahwa persoalan kalender untuk kepentingan ibadah tidak semata masalah puasa dan hari raya (idul fitri) yang boleh saja ia bersifat lokal-nasional Indonesia, namun patut dicatat ia juga terkait momen puasa arafah dan idul adha yang ia terkait dengan konteks lokal-nasional negara Arab Saudi. Artinya, betapapun dalam konteks penentuan awal puasa dan hari raya (idul fitri) dapat dicapai kata sepakat, dapat saja dan telah nyata sekian lama kita dihadapkan pada problem perbedaan dengan negara Arab Saudi sebagai pemilik otoritas penentu hari arafah dan idul adha disana. Sebagai misal, tahun 2003, 2005, 2010, dan 2014 pemerintah Indonesia berbeda dengan Arab Saudi. Kenyataan pula metode Arab Saudi diklaim telah mencapai taraf internasional, betapapun kerap menimbulkan kontroversi. Hal ini menjadi bukti bahwa tidak serta merta tatkala kita telah bersatu dalam idul fitri maka problem penjadwalan waktu akan usai, padahal kita masih dihadapkan pada perbedaan idul adha dengan Arab Saudi.
Pesimisme lain terhadap KIG adalah terkait cara pandang dan keyakinan fikih, dimana harus diakui ada aspek-aspek fikih sebagai disepakati ulama sejak lama yang harus di ‘kontekstualisasi’ bahkan ‘diabaikan’. Aspek-aspek itu yang sejatinya juga masih dalam perdebatan antara lain: konsepsi kapan dan dimana permulaan hari, penggunaan hisab, dan konsep transfer rukyat dan atau imkan rukyat. Tiga aspek ini betapapun telah dikemukakan oleh pengusungnya dengan sejumlah argumen yang argumentatif, harus diakui ada sejumlah kelemahan di dalamnya.
Oleh karena itu, sampai hari ini perbincangan dan perdebatan mengenai KIG ini masih berlanjut dan terus mengemuka dalam dua arus pandangan: optimis dan pesimis. Terlepas dari perdebatan itu, bagaimanapun juga umat Islam hari ini perlu kalender pemersatu sebagai simbol peradaban Islam. Dan untuk itu, mau tidak mau umat Islam hari ini harus berada pada posisi optimis. Para ulama, ilmuwan, cendekiawan, terlebih pemegang otoritas (baik level pemerintah maupun ormas) untuk segera dan terus mengerahkan dan mengarahkan pandangannya pada persoalan krusial ini. Problematika idul adaha 1436 H tahun lalu sesungguhnya memberi kearifan akan pentingnya kehadiran KIG ini. Entah apa dan bagaimana konsepnya, terlebih dahulu kita harus punya rasa optimis, bukan pesimis. Sikap optimisme akan membuka jalan untuk mencari solusi, sebaliknya, sikap pesimisme akan memunculkan jalan buntu. Wallahu a’lam[]