Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen UMSU dan Kepala OIF UMSU
Secara sederhana, ayyamul bidh berarti hari-hari putih. Ayyamul bidh terdiri dari dua kata yaitu “ayyam” yang bermakna hari atau hari-hari, dan “bidh” yang bermakna putih atau terang. Secara fikih-kebahasaan, ayyamul bidh adalah hari-hari tertentu dalam setiap bulan kamariah, yang mana menurut para ulama (fukaha) terjadi pada setiap tanggal (hari) ke-13, 14, dan 15 bulan-bulan hijriah. Ayyamul bidh adalah terminologi fikih yang memiliki implikasi ibadah yaitu puasa sunah ayyamul bidh. Secara etimologi, dinamakan ayyamul bidh adalah karena di tiga hari itu bulan tampak sempurna, cerah, dan terlihat dengan jelas di langit malam hari. Dalam tradisi Arab silam, malam-malam ini dinamakan dengan malam-malam terang-bercahaya (layaly muqmirah).
Adapun dalil kesunahan puasa ayyamul bidh ini ada banyak riwayat hadis Nabi Saw yang menjelaskan tentangnya, antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata, “Telah berwasiat kepadaku, kekasihku (Nabi Saw) untuk melakukan tiga hal yang tidak akan aku tinggalkan sampai meninggal dunia, yaitu puasa tiga hari setiap bulan (ayyamul bidh), salat duha, dan tidur dalam keadaan telah melakukan salat witir” (HR. al-Bukhari).
Lalu riwayat dari Ibn Milhan al-Qoisiy, dari ayahnya, ia berkata, “Rasul Saw biasa memerintahkan kami untuk berpuasa pada ayyamul bidh yaitu 13, 14 dan 15 (dari bulan hijriah)” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i). Lalu, riwayat dari Abu Dzar, Rasul Saw bersabda, “Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan hijriah)” (HR. Tirmidzi dan An-Nasa’i).
Melalui keterangan ini dapat disimpulkan bahwa ayyamul bidh tidak terkait secara langsung dengan telaah astronomis posisi bulan, karena kesunahan puasa ayyamul bidh itu semata bergantung pada hari (tanggal), bukan pada posisi di awal bulan pasca konjungsi dan atau bentuk dan posisi bulan saat tanggal 13, 14, dan 15. Perbedaan dalam menetapkan tanggal satu setiap awal bulan secara otomatis berimplikasi pada perbedaan dalam penetapan dan pelaksanaan puasa sunah ayyamul bidh.
Selain itu, dalam penjelasan para ulama, tanggal 13, 14, 15 itu tidak identik dengan posisi bulan purnama sempurna, dalam segenap penjelasannya para ulama hanya menjelaskan bahwa pada malam-malam itu bulan tampak putih, terang, dan bercahaya, sehingga dinamakan ayyamul bidh (hari-hari putih). Malam-malam putih, terang, dan bercahaya itu bahkan bisa tampak sebelum malam ke-13 sampai malam ke-18 dan bahkan seterusnya, hanya saja syariat (fikih) menetapkan kesunahan puasa ayyamul bidh itu hanya pada tanggal (hari) ke-13, 14, dan 15.
Patut dicatat lagi, jika ditelaah dalam literatur-literatur astronomi Islam klasik, ayyamul bidh (tanggal 13, 14, 15) ini tidak menjadi kajian para ilmuwan (astronom Muslim). Fokus para ilmuwan dan astronom Muslim dalam hal ini hanya pada tanggal satunya yaitu terkait konjungsi, ketinggian hilal, sudut elongasi bulan-matahari, dan fenomena-fenomena terkait hilal (bulan) lainnya. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa posisi dan bentuk bulan saat tanggal 13, 14, 15 tidak menjadi justifikasi kriteria awal bulan yang berlaku di sebuah ormas, komunitas, dan Negara. Perbedaan penentuan awal bulan dan atau kompatibilitas sebuah kriteria awal bulan sejatinya karena perbedaan cara telaah dan ijtihad dalil terkait, sedangkan dalam konteks penyatuan lebih karena ketidakmauan dan atau ketidak mampuan ormas, komunitas, dan Negara dalam mengaturnya, bukan karena posisi dan atau bentuk bulan saat tanggal 13, 14, 15. Fenomena ini juga kembali menegaskan arti penting unifikasi Kalender Islam, terutama dalam skop internasional atau yang disebut dengan Kalender Islam Global. Wallahu a’lam []