Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen UMSU dan Kepala OIF UMSU
Penyatuan kalender Islam di Indonesia memasuki babak baru, tepatnya pada 8 Desember 2021 kriteria baru MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) disahkan oleh Menteri-Menteri Agama 4 Negara Asia Tenggara yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Adapun kriteria yang diusulkan dan disepakati adalah Imkanur Rukyat dengan ketinggian hilal 3 derajat dan sudut elongasi bulan-matahari saat terbenam 6,4 derajat (secara singkat ditulis dan disebut IR 3-6,4).
Secara visibilitas dan kriteria, visibilitas 3-6,4 ini tentu lebih baik dari visibilitas 2-3-8 (ketinggian hilal 2 derajat, sudut elongasi 3 derajat, dan umur hilal paska konjungsi 8 jam) yang selama ini digunakan Kementerian Agama RI dan juga negara-negara MABIMS, ini tentu langkah maju dan patut diapresiasi, tinggal bagaimana uji dan kompatibilitasnya di lapangan. Selanjutnya yang tak kalah penting adalah bagaimana penerimaannya di masyarakat terutama kalangan ormas-ormas, khususnya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Secara implementatif, putusan 3-6,4 ini bisa dua kemungkinan. Kemungkinan pertama akan menjadi opsi dan solusi oleh karena secara konsep lebih baik (lebih ilmiah, lebih logis) dari 2-3-8. Juga setidaknya karena telah disepakati oleh 4 Negara Asia Tenggara yang tergabung dalam MABIMS. Kemungkinan kedua justru akan menjadi masalah baru. Sebab tren selama ini, terutama di dua bulan krusial Ramadhan-Syawal, posisi hilal dengan ketinggian 2 derajat kerap ada yang melaporkan melihat, terutama dari kalangan jejaring rukyat Nahdlatul Ulama. Dengan kriteria MABIMS baru (ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat) secara teoretis-otomatis akan menolak laporan dan atau kesaksian hilal dibawah ambang batas 3 derajat (dan sudut elongasi 6,4 derajat).
Karena itu dalam konteks Negara Indonesia, pengusul dan pengusung kriteria ini (dalam hal ini Kementerian Agama dan pakar-pakar lintas ormas dan instansi) yang tergabung dalam Tim Unifikasi (istilah lama Badan Hisab Rukyat atau BHR) secara moral dan intelektual bertanggungjawab untuk menjelaskan, mensosialisasikan, dan mengimplementasikannya di masyarakat.
Sementara itu dalam konteks regional, penerapan visibilitas 3-6,4 tentu bergantung kepada negara masing-masing, dimana Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura telah menerapkan lebih dulu. Tampaknya 3 negara ini tidak ada masalah dalam penerapannya. Sementara dalam konteks Indonesia tidak dipungkiri masih dan akan ada dinamika, terlebih lagi masih akan bergantung bagaimana penerimaan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama atas putusan ini. Sejauh ini belum ada rilis resmi dari dua ormas Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama atas putusan MABIMS 3-6,4 tersebut. Dua ormas ini, tanpa menafikan ormas-ormas lain, patut disebut dan diprioritaskan adalah karena keduanya memiliki pengaruh dan jamaah terbanyak di tanah air. Meminjam analogi yang diberikan almarhum KH. Hasyim Muzadi (mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), bahwa Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama itu ibarat sepasang sendal yang jika ingin digunakan maka harus keduanya, tidak bisa satu dipakai sementara yang lainnya ditinggalkan.
Dalam konteks ini pula para pakar dan pengkaji kalender Islam di tanah air patut memahami historisitas keagamaan dan kebangsaan dua ormas ini yang notabenenya melahirkan Negara dan salah satu institusinya yaitu Kementerian Agama.
Karena itu menarik menanti respons Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama atas putusan baru MABIMS 3-6,4 ini, penulis sendiri tidak ingin menduga apa sikap dua ormas ini, lebih baik dan arif menunggu sembari berdoa semoga “Kalender Islam Global” akan wujud di permukaan bumi ini sebagai sebuah tuntutan peradaban dan sekaligus identitas peradaban Islam. Wallahu a’lam[]