Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Dalam perumusan Kalender Islam Global, meniscayakan adanya pendefinisian tentang awal hari, yaitu kapan dan dimana awal hari itu dimulai? Dalam hal ini terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama dan ilmuwan terkait penentuan kapan dimulainya awal hari ini. Bila merujuk Q. 2: 187 difahami bahwa isyarat pembagian hari berupa siang dan malam ditandai dengan benang putih dan benang hitam (al-khaith al-abyadh dan al-khaith al-aswad). Benang putih menandakan waktu siang hari, sedangkan benang hitam menandakan waktu malam hari. Namun, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah tidak mempertegas kapan hari itu dimulai. Ketidak tegasan ini memberi konsekuensi pada beragamnya penafsiran ulama tentang awal hari ini. Setidaknya ada tiga pandangan ulama dalam masalah penentuan awal hari ini, tiga pandangan itu : (1) sebuah hari dimulai saat matahari terbenam (sunset), (2) dimulai saat tengah malam (midnight), dan (3) saat terbit fajar (twilight). Tiap-tiap pandangan memiliki argumen masing-masing.
Pandangan Sunset mendasarkan kepada bahwa awal hari itu dimulai sejak terbenamnya matahari. Aliran ini antara lain mendasarkan pendapatnya pada Q. 36: 40. Dalam ayat ini terdapat frasa al-lail (malam) dan an-nahar (siang). Frasa al-lail disebutkan lebih dahulu dari frasa an-nahar, hal ini mengindikasikan bahwa awal hari dimulai pada saat malam. Ini merupakan pendapat mayoritas (jumhur). Menurut jumhur, waktu tempo kewajiban penunaian zakat fitrah adalah sejak terbenamnya matahari pada akhir bulan Ramadan. Demikian lagi, bayi yang lahir atau orang yang masuk Islam setelah matahari terbenam pada akhir bulan Ramadan ia tidak dibebani menunaikan zakat fitrah. Batasan terbenam matahari sebagai syarat jatuh tempo penunaian zakat fitrah ini dimaknai bahwa awal hari itu dimulai sejak terbenamnya matahari.
Pandangan Twilight menetapkan bahwa awal hari dimulai sejak ketika terbit fajar. Aliran ini mendasarkan argumennya pada Q. 02: 187. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa puasa (Ramadan) dimulai dari sejak terbit fajar. Aliran ini dikenal juga dengan aliran ijtimak qabl al-fajr yang dalam tataran praktisnya untuk beberapa waktu dipedomani oleh masyarakat muslim Libya. Selain itu, kalangan fukaha dari mazhab Hanafi juga menetapkan bahwa hari itu dimulai dari sejak terbit fajar. Menurut mazhab ini, tempo wajib penunaian zakat fitrah adalah sejak terbit fajar. Oleh karena itu pula, bayi yang lahir atau orang yang masuk Islam sesudah terbit fajar maka ia tidak dibebani kewajiban menunaikan zakat fitrah.
Adapun pandangan Midnight menetapkan bahwa sebuah hari dimulai dari sejak tengah malam atau pukul 00:00 Waktu Universal (WU). Pandangan ini seperti dimaklumi merupakan konsep hari menurut sistem penanggalan matahari yang menetapkan sebuah hari dimulai secara konvensional dari bujur 180°. Pandangan midnight ini merupakan gagasan yang diusulkan oleh Jamaluddin Abd ar-Raziq, seorang praktisi astronomi asal Maroko, sebagai upaya mewujudkan kalender Islam yang terunifikasi. Menurut Jamaluddin, merupakan hal yang tidak mungkin menetapkan terbenam matahari atau terbit fajar sebagai permulaan hari dan sistem waktu. Jamaluddin beralasan bahwa terbit matahari dan terbit fajar pada satu lokasi tertentu berubah-ubah dari satu waktu ke waktu yang lain. Oleh karena waktu terbenam matahari dan terbit fajar berkaitan dengan lokasi tertentu maka ia tidak dapat diberlakukan ke seluruh penjuru bumi. Selain itu, menurut Jamaluddin, waktu-waktu ibadah itu tidak terpengaruh oleh sistem waktu internasional.
Selain itu, dalam diskursus Kalender Islam Global juga mengemuka apa yang dikenal dengan Hari Universal (al-yaum asy-syumuly atau al-yaum al-‘alamy). Hari Universal adalah durasi waktu suatu hari dari sejak pukul 00:00 hingga pukul 00:00 berikutnya di seluruh dunia diasumsikan berdurasi 48 jam. Konsep Hari Universal merupakan cara pandang baru dalam memposisikan aliran hari dunia untuk suatu tujuan tertentu. Konsep ini digagas oleh Jamaluddin Abd ar-Raziq, dalam upaya gigihnya merumuskan sebuah Kalender Kamariah Islam Unifikasi. Gagasan tentang hari sekaligus konsep kalendernya ini tertera dalam buah karyanya yang berjudul “at-Taqwim al-Qamary al-Islamy al-Muwahhad”.
Secara konseptual, Hari Universal yang berdurasi 48 jam ini cirinya adalah bahwa permulaan Hari Universal berikutnya tidak pada saat berakhirnya Hari Universal sebelumnya, namun pada pertengahannya. Asumsinya, ketika suatu Hari Universal telah berlangsung 24 jam maka Hari Universal berikutnya sudah mulai. Artinya parohan kedua Hari Universal pertama bersamaan dengan parohan pertama Hari Universal berikutnya. Jika kita misalkan, suatu hari (Jum’at misalnya) apabila dimulai pada garis bujur 180° BT pukul 00:00 (waktu setempat) dan berakhir pada garis bujur 180° BB (dimana kedua garis ini berimpit) pukul 00:00 (waktu setempat) malam berikutnya (malam Sabtu). Maka kita asumsikan bahwa lama waktu tersebut adalah 48 jam.
Secara lebih mudah, aliran hari Hari Universal dapat dirumuskan sebagai berikut: durasi waktu dari pukul 00:00 sampai pukul 12:00 (siang) adalah 12 jam. Dalam peredarannya, dalam satu jam bumi berputar sebesar 15° menuju Waktu Universal (WU) + 11 jam, kemudian bergerak lagi sejauh 15° memasuki WU + 10 jam, bergerak lagi 15° menuju WU + 9 jam, demikian seterusnya hingga melampaui 24 zona waktu hingga mencapai garis bujur 180° BB yang sekaligus bujur 180° BT. Putaran waktu melampaui 24 zona waktu itu adalah 360°, sedangkan durasinya adalah 24 jam. Selanjutnya lama waktu dari pukul 12:00 WU – 12 jam (zona waktu ujung Barat) hingga berakhirnya suatu hari di zona waktu yang sama tengah malam berikutnya adalah 12 jam. Jadi, 12 jam dari tengah malam itu hingga siangnya di zona waktu + 12 jam ditambah 24 jam perputaran bumi sejak dari garis bujur 180° BT hingga 180° BB dengan melewati 24 zona waktu dan ditambah lagi 12 jam sejak siang hingga tengah malam berikutnya di zona ujung barat (WU – 12 jam) jumlahnya adalah 48 jam. Oleh karena itu satu hari di seluruh dunia berlangsung selama 48 jam, inilah yang dinamakan Hari Universal menurut Jamaluddin.
Hari universal juga dapat dijabarkan sebagai berikut: di titik 180 derajat berada pada jam 00:00 (misalnya hari Jumat dini hari), maka dari titik 180 derajat ke titik 0 derajat memerlukan waktu 12 jam (berarti jam 12 siang hari Jumat). Saat yang sama, di titik 180 derajat, baru masuk hari Jumat.
Selanjutnya, jika dimisalkan dari titik 0 derajat ke titik 30 derajat Bujur Barat (BB) maka akan memakan waktu 2 jam (jam 14:00 sore, hari Jumat). Maka, di posisi 150 derajat Bujur Timur (BT) baru masuk 2 jam Jumat pagi (jam 02:00).
Lalu dari titik 0 derajat ke 180 derajat memerlukan waktu 12 jam, maka total hari Jumat pertama senilai 24 jam (yaitu jam 00:00 hari Sabtu). Lalu dari titik 0 derajat ke titik 180 derajat (yaitu siang ke malam, yang berarti malamnya adalah hari Sabtu dinihari ), saat yang sama titik 180 derajat (Jumat malam) menuju titik 0 derajat (Jumat siang) memerlukan waktu 12 jam (yaitu jam 12:00 Jumat siang). Selanjutnya, oleh karena sudah berada di titik 180 derajat, maka hari berganti menjadi Sabtu pagi. Lalu berlanjut dari titik 0 derajat ke titik 180 derajat (Jumat siang ke Sabtu malam) memerlukan durasi 12 jam, sehingga total keseluruhannya berdurasi 24 jam.
Dengan demikian, keseluruhan durasi waktu (jam) dalam satu hari satu malam adalah 24 jam paroh awal ditambah 24 jam paroh akhir, sehingga totalnya 48 jam, yang disebut dengan Hari Universal, Inggris : Universal Day, Arab : Yaum Syumuly.
Pemahaman, relevansi, dan urgensi hari universal ini terkait dengan maksud kalender Islam global itu sendiri. Hari universal yang berdurasi 48 jam itu sejatinya adalah hakiki sebagai konsekuensi putaran bulat Bumi dalam sehari semalam. Ia juga sekaligus mencerminkan putaran dan atau aliran waktu yang terus bersambung (komprehensif) di seluruh dunia. Dalam konteks Kalender Islam Global (KIG), aliran hari dan tanggal harus dilihat secara global, bukan regional, apatah lagi lokal-nasional. Dalam konteks KIG lagi, pemahaman global yang komprehensif ini perlu dipahami oleh semua masyarakat Muslim dunia. Kriteria sebagai salah satu syarat wujudnya KIG adalah penting, namun dibalik itu filosofi juga merupakan hal utama.
Secara konseptual, asumsi dan aplikasi Hari Universal yang menjadikan waktu sehari semalam berdurasi 48 jam ini pada dasarnya tidaklah menjadi persoalan. Yang menjadi persoalan adalah penetapan waktu tengah malam (pukul 00:00) itu sebagai awal hari. Benar bahwa ulama masih berbeda pendapat tentang permulaan hari. Namun sejauh perkembangannya, perbedaan para ulama ini hanya terbatas pada dua pilihan saja, yaitu antara saat terbenamnya matahari (pandangan jumhur) dengan terbitnya fajar (pandangan fukaha mazhab Hanafi). Sejauh ini tidak/belum ditemukan dalil dan pandangan ulama yang mengakomodir waktu tengah malam sebagai titik awal sebuah hari. Artinya, anggitan Hari Universal ini murni hasil pemikiran terhadap fenomena sosio-religius dan realita alam.[] Wallahu a’lam
Referensi:
- Jamal ad-Din ar-Raziq, at-Taqwim al-Qamary al-Islamy al-Muwahhad (Rabat: Marsam, cet. I, 2004).
- Syamsul Anwar, Hari Raya & Problematika Hisab Rukyat (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, cet. I, 2008).
- Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Kalender Islam (Lokal ke Global, Problem dan Prospek), Medan: OIF UMSU, cet. I, 1437/2016).
- Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Kalender Sejarah dan Arti Pentingnya Dalam Kehidupan (Semarang: Afsoh Publisher, cet. I, 2014 M).