Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen UMSU dan Kepala OIF UMSU
Kalender Islam (disebut juga Kalender Hijriah) adalah sistem kalender yang digunakan umat Islam terutama dalam kepentingan ibadah, khususnya dalam menentukan puasa dan hari raya. Kalender Islam (Hijriah) didasarkan pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi, yang berbeda dengan Kalender Masehi (atau Kalender Gregorian) yang didasarkan pada peredaran Bumi mengelilingi Matahari. secara praktik, Kalender Islam sudah digunakan oleh baginda Nabi Saw dan sahabat-sahabatnya tatkala di dua kota mulia Makkah dan Madinah. Sementara itu secara formal-historis, Kalender Islam dideklarasikan di zaman Khalifah Umar bin Khatab pada tahun 17 H, yang dirumuskan oleh sejumlah sahabat senior. Inisiasi penomoran penanggalan ini merupakan momentum awal peradaban kalender di dunia Islam, yang sayangnya hingga satu abad lebih belum juga terwujud.
Dalam praktiknya, Kalender Islam terkait dengan tradisi rukyat (mengamati hilal) di akhir bulan kamariah. Hal ini berdasarkan hadis-hadis baginda Nabi Saw yang menitahkan untuk melihat anak bulan dan atau istikmal. Dalam praktik awal, praktik ini tidak ada masalah oleh karena teritorial wilayah Islam hanya sekitar Jazirah Arab, ditambah keberadaan Nabi Saw berada di tengah umat. Dinamika, dialektika, apatah lagi resistensi ketika itu nyaris tidak ada. Namun seiring penaklukan ke berbagai wilayah (negeri), distribusi kaum Muslim terus bertambah dan meluas di berbagai pelosok negeri di luar Jazirah Arab. Dalam kondisi ini mulai muncul masalah, mula-mula masalah matlak atau kaveran keberlakuan keterlihatan hilal di suatu tempat. Di periode ini mulai bermunculan pula karya-karya para ulama dan ilmuwan Muslim terkait matlak. Dengan demikian pengkajian teoretis dan praktis tentang hilal dan kalender pun mulai berubah dan menggeliat.
Problem berikutnya adalah tatkala memasuki dunia modern hari ini, umat Islam telah menduduki seluruh benua di planet Bumi ini, baik dalam skala mayoritas maupun minoritas. Terlepas dari mayoritas-minoritas itu, setiap Muslim dimanapun berada membutuhkan satu sistem penjadwalan waktu (kalender) yang pasti lagi definitif. Kuantitas komunitas Muslim yang minoritas sama sekali tidak menjadi alasan meniadakan kalender di tempat itu, karena Islam adalah rahmat bagi segenap teritorial dan semesta. Singkat kata, kini muncul gagasan menyatukan seluruh umat Muslim dalam satu sistem penjadwalan waktu yang terpadu lagi kredibel, berdasar petunjuk syariat dan bersesuaian dengan sains modern. Salah satu gagasan modern terkait organisasi waktu itu adalah Kalender Islam Global (at-taqwim al-islamy al-uhady) yang berlaku dan atau diberlakukan di seluruh dunia tanpa terkecuali. Beberapa pertemuan taraf dunia untuk membicarakan inipun telah dilakukan, tidak satu kali, tapi berulang kali.
Dalam konteks Indonesia, seiring unifikasi tingkat global yang terus menggelinding, memunculkan pertanyaan, unifikasi itu di tingkat lokal (Indonesia) dahulu, lalu global (dunia)? Atau sebaliknya, segera mengupayakan unifikasi global, lalu unifikasi lokal? Jika ditelaah secara konsep dan logika, dua upaya ini memiliki plus-minus. Dalam konteks Indonesia, seperti jamak diketahui, diskursus hisab-rukyat dan perbedaan-perdebatan penentuan awal bulan telah lama berlangsung, jauh sebelum inisiasi kalender Islam global menggelinding, namun hingga saat ini belum juga tercapai.
Jika dilihat dalam perspektif holistik-universal, unifikasi global tampaknya lebih memiliki nilai plus dan bernilai peradaban. Universalitas penjadwalan waktu sebagai tampak dari spirit QS. Al-‘Ashr [103] ayat 1-3 menekankan urgensi pengaturan waktu secara komprehensif lagi akurat, yang jika tidak diindahkan akan mendatangkan kerugian, diantaranya kerugian peradaban. Dalam sejumlah ayat al-Qur’an juga terdapat penekanan unifikasi bahwa umat Islam adalah umat yang satu (antara lain QS Al-Anbiya’ [21] ayat 92 dan QS Al-Mu’minun [23] ayat 52).
Jika unifikasi lokal lebih dahulu dilakukan, lalu global, secara praktis akan terjadi pengulangan (redundant) pembahasan konsep, metode, dan praktik kelender. Ditambah lagi boleh jadi konsep, metode, dan praktik lokal Indonesia ini berbeda dengan apa yang akan dan atau telah diusung dalam tingkat global. Dalam faktanya, sampai hari ini unifikasi lokal pun tak kunjung tercapai, betapapun berbagai ihtiar, yang juga tidak satu kali, telah dilakukan. Secara psikologis, mengubah apa yang telah mapan dan berjalan, apatah lagi dengan proses panjang dan melelahkan, adalah sesuatu yang sulit diterima.
Karena itu, pilihan realistisnya, dengan segenap plus-minusnya, adalah unifikasi tingkat global, karena secara otomatis akan menyelesaikan tingkat lokal. Unifikasi global setidaknya memiliki tiga keunggulan. Pertama, kita (bangsa Indonesia) berperan dan berkontribusi menyelesaikan persoalan keumatan dunia. Kedua, kita tidak lagi dikhawatirkan dengan adanya perbedaan puasa arafah dan idul adha, karena ibadah puasa arafah terkait dengan peristiwa di tempat lain yaitu di negara Arab Saudi. Ketiga, keaktifan mengupayakan unifikasi global merupakan amanat dan semangat pembukaan UUD 1945 yaitu ikut dan aktif melaksanakan ketertiban dunia, dalam hal ini penertiban sistem penjadwalan waktu (Kalender Islam).[]