Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Mikat (Arab: Mīqāt atau Mawāqīt) secara bahasa bermakna waktu yang diperuntukkan sebagai aktifitas. Mīqāt juga bermakna ‘tempat’ (maudhi’). Al-Qannujy (w. 1307 H/1889 M) dalam karyanya“Abajad al-‘Ulūm” mendefinisikan Mikat sebagai ilmu tentang waktu-waktu salat, Mikat juga adalah interval waktu bagi manusia di berbagai tempat dan negeri tatkala hendak menunaikan ibadah haji dan umrah. Kata Mawāqīt atau Mīqāt tertera dalam al-Qur’an, antara lain QS. al-Baqarah [02]: 189, QS. an-Naba’ [78]: 17, QS. al-A’raf [07]: 142, QS. ad-Dukhan [44]: 40, dan QS. an-Nisa’ [04]: 103. Karena itu dapat dinyatakan bahwa penggunaan terminologi Mikat sesungguhnya terinspirasi dari al-Qur’an.
Dalam perkembangannya, miqat menjadi disiplin ilmu mandiri yang berbeda dengan ilmu zij dan observasi yang telah berkembang di dunia Islam. Al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M) dalam “Shubh al-A’syā fī Shinā’ah al-Insyā” secara tegas menempatkan ilmu al-mawāqīt sebagai satu dari 5 cabang ilmu astronomi. Lima cabang astronomi itu: ilmu tentang zij, ilmu al-mawāqīt, ilmu tata cara observasi, ilmu tentang proyeksi bola bumi, dan ilmu tentang alat-alat bayangan.
Dalam sejarah Islam, ulama dan ilmuwan yang menekuni bidang ini dikenal dengan sebutan “Muwaqqit” atau “Mīqāty” yang secara bahasa berarti ‘juru waktu’. Dalam konteks zaman kala itu, muwaqqit lebih didefinisikan sebagai seorang astronom profesional yang menguasai dasar-dasar astronomi bola dan matematika yang berafiliasi kepada salah satu masjid atau institusi keagamaan yang mana tugas pokoknya menentukan waktu-waktu salat. Bahkan menurut Hill, profesi ini difasilitasi oleh negara, betapapun ada juga Muwaqqit yang menekuni bidang ini namun tidak berafiliasi sama sekali kepada suatu mesjid atau institusi keagamaan.
Menurut David King, Mikat merupakan cabang astronomi berkaitan pengaturan waktu-waktu salat (timekeeping) berdasarkan rotasi harian Matahari dan bintang-bintang untuk menentukan waktu siang hari maupun malam hari dengan cara menerapkan rumusan trigonometri pada data yang berasal dari pengamatan posisi Matahari dan bintang-bintang. Namun seiring perjalanan waktu cakupan ilmu ini meluas dengan kajian-kajian lain yang terkait rotasi harian Matahari dan benda-benda langit yaitu penentuan arah kiblat (Mekah), penentuan awal bulan, penentuan gerhana, dan lain-lain.
Secara historis, Mikat merupakan disiplin keilmuan Islam asli hasil akselerasi dan kreasi para astronom Muslim yang mengakomodir tiga aspek penting yaitu observasi, perhitungan, dan pendokumentasian (zij). Ilmu ini lahir sebagai upaya penjabaran ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi Saw yang menjelaskan tentang waktu-waktu salat. Dalam praktiknya, Mikat sangat terkait dengan konsepsi astronomi bola (al-falak al-kurawy) dan trigonometri (hisāb al-mutsallatsāt) yang menjadi dasar konstruksi Mikat. Dua konsepsi ini menjadi dasar praktis dan selanjutnya menjadi populer dikalangan astronom Muslim era awal yang bersumber dari sumber-sumber India.
Seperti diketahui, waktu-waktu salat yang dipraktikkan baginda Nabi Saw bersama malaikat Jibril sangat bergantung pada posisi harian Matahari dari waktu ke waktu. Dari perspektif ini, Mikat sebenarnya telah ada dan dipraktikkan oleh Nabi Saw, sahabat, dan generasi-generasi berikutnya. Pendefinisian waktu-waktu salat pada masa Nabi Saw dan era awal Islam hanya mengandalkan observasi langsung, dan dalam kenyataannya penentuan waktu salat tidak dengan mudah dapat dilakukan. Satu-satunya cara untuk memastikan tibanya waktu salat adalah dengan mengamati Matahari dan atau bintang-bintang di langit. Kondisi ini mendorong umat Islam dan terutama para astronom Muslim merumuskan penentuan waktu salat secara matematis yang ditopang dengan observasi. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa Mikat di peradaban Islam merupakan cabang astronomi baru dan memiliki posisi penting dalam Islam karena berhubungan dengan persoalan ibadah. Ilmu ini dibangun oleh para astronom Muslim dengan nama baru yaitu “Ilmu Mikat” (Arab: ‘Ilm al-Mīqāt, Inggris: Timekeeping) yang berfungsi mengurai problematika pewaktuan ibadah dalam agama (Islam).
Menurut King, Ilmu Mikat muncul dalam tradisi sains Islam pada era Mamalik, khususnya di Mesir dan Suriah, dan selanjutnya berkembang pesat di berbagai penjuru dunia Islam. Mikat pada waktu itu terhitung sebagai ilmu baru dan merupakan bagian terpenting dari cabang ilmu astronomi yang berkaitan dengan beberapa tuntutan agama. Sebelum peradaban Islam, tradisi Mikat belum muncul di dunia Arab. Menurut King, praktik seminal Mikat mulai diketahui sejak abad ke 2-3 H/8-9 M, dan berkembang secara luas di era Mamalik Mesir. Adalah Ibn Yunus (w. 399 H/1008 M), astronom muslim abad 4 H/10 M asal Mesir yang memperkenalkan dan membangun konstruksi ilmu ini dalam tabel-tabel astronominya. Ia juga telah memetakan tugas dan peran muwaqqit pada periode-periode sesudahnya yang mulai berkembang di beberapa dunia Islam (antara lain Cairo, Damaskus, Istanbul) yang mana tiga kota ini kala itu menjadi pusat perkembangan Ilmu Mikat di dunia Islam.
Memasuki abad 6 H/12 M profesi mikat terus berkembang dimana para pelaku profesi ini tidak hanya piawai dalam menentukan waktu secara teoretis dan praktis, namun mereka juga mendokumentasikan hasil penelitian dan observasinya dalam bentuk tabel, karya tulis, dan instrumen astronomi. Perkembangan ini pada akhirnya melahirkan muwaqqit-muwaqqit profesional yang bertugas di masjid-masjid maupun di tengah masyarakat.
Di Indonesia, disiplin ilmu yang mengkaji waktu-waktu dan posisi ibadah umat Islam (waktu salat, arah kiblat, awal bulan, gerhana) dikenal dengan “ilmu falak syar’i” yang sesungguhnya referensi dan literasinya tidak ditemukan dalam sejarah. Sejatinya, terminologi yang tepat adalah Ilmu Mikat (‘Ilm al-Miqat), wallahu a’lam.[]