Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Pembahasan imkan rukyat (visibilitas hilal) merupakan tema dinamis dan terus berkembang sepanjang zaman khususnya di kalangan fukaha dan ilmuwan Muslim. Di Nusantara-Indonesia, pembahasan imkan rukyat juga intens dibicarakan, terlebih di era modern hari ini. Diantara ulama Nusantara yang memberi dan memiliki pemikiran terkait visibilitas hilal adalah Al-Habib Sayyid Usman (w. 1331 H/1913 M) dalam salah satu karyanya yang berjudul “Tamyiz al-Haqq Min adh-Dhalal fi Masa’il al-Hilal”.
Di fasal ketiga dari karyanya ini, Sayyid Usman mengurai secara singkat tentang kesaksian hilal (syahadah) dan keterkaitannya dengan ambang batas imkan rukyat (visibilitas hilal). Rukyat atau melihat anak bulan setiap awal bulan kamariah sendiri menurut Sayyid Usman merupakan fardu kifayah (yaitu kewajiban yang dapat tertunaikan manakala dilakukan sejumlah orang), ini diantaranya dinukil Sayyid Usman dari kitab “Hasyiah al-Bujairimy ‘ala al-Iqna’”.
Dalam pembahasan tentang kriteria saksi, Sayyid Usman memberi kriteria bahwa seorang saksi mesti kredibel (al-ma’hudah). Selanjutnya kesaksiannya harus memenuhi sejumlah syarat dan standar minimal. Salah satu syarat dan standar minimal itu menurut Sayyid Usman adalah saksi yang adil.
Selanjutnya Sayyid Usman menerjemahkan bahwa terpenuhinya kriteria dan syarat rukyat yang muktabar itu adalah manakala keterlihatan hilal berada pada posisi yang memungkinkan terlihat secara fisis, logis, dan syar’i. Dalam hal ini Sayyid Usman menetapkan limit keterlihatan hilal (imkan rukyat) sebesar 7 derajat. Dalam praktiknya, jika ada kesaksian yang melaporkan melihat hilal kurang dari angka ini maka kesaksiannya ditolak. Dalam konteks ini, kesaksian hilal yang kurang dari 7 derajat, Sayyid Usman menyebutnya dengan rukyat mustahil yang tidak dapat diterima, yang menurutnya hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, sebab telah jelas dalam Mazhab Syafi’i. (hlm. 6-7).
Berikut pernyataan Sayyid Usman tersebut,
“… بهوساث سهاري بولن ايتو فاتوت بوله دافت دليهت فداث فد عادة بياساث مك سكورڠ كورڠث ايتو تيڠڬيث توجه درجة . ادفون جكالو كورڠ دري توجه درجة مك مستحيل رؤيتث فد عادة دري سبب ترلالو كچيل دان ترلالو دكت فد متهاري مك تياد كتريما سكسي يڠ مڠاكو مليهت فداث”
“…Bahwasanya sehari Bulan itu patut boleh dapat dilihat padanya pada adat biasanya, maka sekurang-kurangnya itu tingginya tujuh derajat. Adapun jika kurang dari tujuh derajat maka mustahil rukyatnya pada adat, dari sebab terlalu kecil dan terlalu dekat pada Matahari, maka tiada keterima saksi yang mengaku melihat padanya”.
Menguatkan pandangannya ini Sayyid Usman mengutip sejumlah ulama antara lain Ibn Syarif dalam karyanya “al-Irsyad” yang menyatakan,
ومن شرط البينة إمكان المشهود به حسا وعقلا وشرعا
“Diantara syarat yang jelas tentang imkan hilal yang dilihat adalah secara hissi, aqli, dan syar’i”.
Sayyid Usman juga mengutip fatwa al-‘Allamah as-Sayyid Thahir bin Muhammad bin Hasyim yang menyatakan,
أن البينة بما يستحيل عادة غير مقبولة وهذا الحكم مما لا ينازع فيه إذ هو مصرح في كتب المذهب
“Bahwa yang jelas, kesaksian yang mustahil secara adat (kebiasaan) tidak dapat diterima, ini adalah keputusan (hukum) yang tidak ada pertentangan tentangnya, sebab telah jelas dalam kitab-kitab Mazhab (Syafi’i)”.
Menguatkan pendapatnya ini, kembali Sayyid Usman menegaskan jika syarat-syarat saksi tidak sempurna (tidak terpenuhi), maka saksi-saksi yang mengaku melihat hilal tidak sah dan kesaksiannya tidak dapat diterima.
Sayyid Usman juga menjelaskan pengertian hadis Nabi Saw tentang penggenapan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, yang mana menurutnya hal ini hanya berlaku jika awal bulan Sya’ban itu ditetapkan dengan rukyat yang sahih serta dengan dua orang saksi. Jika awal Say’ban ditetapkan dengan hisab atau dengan kesaksian yang tidak valid, maka tidak dapat diterima. Kesaksian tidak valid (tidak diterima) tersebut diantaranya adalah kesaksian di bawah 7 derajat.
Patut dicatat, anggitan 7 derajat sebagaimana ditetapkan Sayyid Usman dalam karyanya ini tampaknya merupakan praktik yang terverifikasi ketika itu, yaitu dalam konteks teritorial Jawa atau Nusantara. Artinya, ambang batas 7 derajat tersebut merupakan ambang batas minimal yang terverifikasi ketika itu. Sementara hari ini, imkan rukyat sebagaimana ditetapkan Kementerian Agama RI, yang secara resmi menggunakan kriteria imkan rukyat menetapkan ambang batas minimal hilal 2 derajat, dengan sudut elongasi 3 derajat, dan umur bulan 8 jam sejak terjadi ijtimak (konjungsi).
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa imkan rukyat menurut Sayyid Usman sejatinya memenuhi tiga aspek sekaligus, yaitu aspek fisis (hissy), aspek logis (‘aqly), dan aspek sayariat (syar’iy). Akumulasi tiga hal ini ditunjukkan dengan indikasi bahwa hilal mesti dapat terlihat secara fisik, yang ditunjukkan dengan ambang batas yang relatif tinggi (yaitu 7 derajat). Selanjutnya keterlihatan hilal itu harus terverifikasi yaitu dengan kesaksian minimal dua orang saksi, yang jika tidak terpenuhi maka tidak dapat diterima. Wallahu a’lam[]