Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Secara etimologi, “Tabasyir al-Fajr” atau “Tabasyir ash-Shubh” adalah suatu fenomena alam (langit) yang tampak pertama kali atau berupa permulaan sesuatu (awaal ma yabdu minhu), dimana yang dimaksud adalah permulaan berkas cahaya yang mengiringi akan tibanya fajar sadik sebagai pertanda awal waktu Subuh. “Tabasyir al-Fajr” merupakan istilah yang digunakan para ulama dalam menunggu tibanya waktu Subuh. Seperti diketahui, para ulama, ilmuwan, dan orang-orang dahulu memiliki kebiasaan menunggu waktu salat Subuh dengan berdoa, berzikir, dan amalan-amalan sunah lainnya.
Secara terminologi, “Tabasyir al-Fajr” atau “Tabasyir ash-Shubh” adalah berkas sinar Matahari yang mulai tampak menjulang vertikal di horison timur yang menjadi tanda segera munculnya fajar sadik. Artinnya, “Tabasyir al-Fajr” sejatinya bukan dan atau belum dikategorikan sebagai waktu Subuh oleh karena belum membentang di horison, baik ke sisi kanan maupun ke sisi kiri horioson. Sementara itu berdasarkan sejumlah hadis Nabi Saw, kondisi alam seemacam ini adalah waktu terbaik melaksanakan salat witir.
Dalam literatur klasik, istilah “Tabaysir al-Fajr” antara lain terdapat dalam kitab “al-Mu’jam al-Kabir” karya Al-Thabarani (w. 360 H/971 M) dimana dalam kitab ini dikisahkan perbincangan dua orang sahabat yaitu antara Ibn Mas’ud dan Huzaifah, dimana tatkala keduanya melihat “tabasyir al-fajr” segera keduanya melaksanakan salat sunah witir. Praktik dua sahabat ini menunjukkan bahwa cahaya awal yang muncul dan tampak ketika itu bukan cahaya fajar sadik sebagai pertanda waktu Subuh, namun ia masih dikategorikan fajar kazib. Sementara itu dalam sejumlah riwayat juga disebutkan bahwa waktu (fenomena) “tabasyir al-fajr” ini merupakan waktu yang paling utama untuk melaksanakan salat sunah witir.
Fakta ini mengindikasikan pula bahwa setiap cahaya yang ada dan pertama tampak di penjuru ufuk timur (titik Matahari terbit) bukanlah fajar sadik, namun adakalanya ia adalah apa yang disebut “Tabasyir al-Fajr”, yang masih dikategorikan fajar kazib. Dalam astronomi, diketahui bahwa penurunan magnitudo karena munculnya cahaya tidak harus oleh cahaya fajar sadik, namun dapat pula cahaya fajar kazib itu sendiri, atau yang disebut “tabasyir al-Shubh”.
Al-Baihaqy (w. 458 H/1066 M) misalnya dalam “Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsar” dan Ibn Aby Syaibah (w. 235 H/849 H) dalam “al-Mushannaf” menginformasikan bahwa Imam Ali ra keluar menemui beberapa sahabatnya yang kala itu sedang menyaksikan “tabasyir al-fajr”. Lantas Imam Ali mengajak mereka untuk melaksanakan salat witir. Selanjutnya Imam Ali berkata bahwa fenomena “tabasyir al-fajr” itu adalah sebaik-baik waktu untuk melaksanakan salat witir. Lalu tatkala fajar sadik muncul, maka itu adalah pertanda dapat dimulainya salat fardu Subuh.
Sementara itu dalam keterangan Al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) dan As-Suyuthi (w. 911 H/1505 M) disebutkan bahwa Bilal mengumandangkan azan sebelum fajar, lalu setelah itu ia berzikir dan berdoa kepada Allah, lantas tatkala Bilal melihat “tabasyir al-fajr” serta cahaya yang mendahului dan mengiringinya ia memberitahu kepada Ibn Ummi Maktum untuk bersiap-siap yaitu dengan bersuci dan lalu mengumandangkan azan Subuh. Dari informasi ini sekali lagi dapat disimpulkan bahwa cahaya yang muncul (tabasyir al-fajr) itu bukanlah cahaya fajar sadik, namun masih berupa pengantar dan pengiring fajar, yang disebut “tabasyir al-fajr” atau “tabasyir ash-shubh”.
Secara astronomis, tabasyir al-fajr ini patut ditelaah lebih jauh dan dikorelasikan dengan penelitian dan pengkajian waktu Subuh yang belakangan ini intens dilakukan. Secara praktik, para sahabat dan ulama silam sejatinya telah secara komprehensif dan detail melihat dan menelaah fenomena langit malam oleh karena terdapat keutamaan di dalamnya yaitu terkait salat sunat witir, salat sunat fajar, dan salat fardu Subuh. Wallahu a’lam[]