Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Di Indonesia, setiap tanggal 28 Mei dan 16 Juli (atau 27 Mei dan 15 Juli), di kalangan pegiat ilmu falak dikenal dengan Rasdul Kiblat, yaitu hari meluruskan arah kiblat. Di dua hari (tanggal) ini, umat Muslim kerap melakukan aneka kegiatan terkait arah kiblat, mulai dari akurasi Masjid/Mushallah/lapangan secara langsung, seminar, praktikum beberapa alat-alat astronomi, dan lain-lain. Rasdul Kiblat sendiri adalah momen ketika Matahari persis berada di atas Kakbah, yang mana ketika itu posisi Matahari senilai lintang Kakbah, yaitu 21º 25’. Dalam kondisi ini, setiap benda tegak lurus, bayangan yang dihasilkan adalah arah kiblat di lokasi itu. Cara dan metode ini sangat efektif digunakan untuk mengakurasi arah kiblat di berbagai tempat.
Dalam kenyataannya, praktik Rasdul Kiblat tercatat dalam literatur-literatur klasik yang ditulis oleh ulama dan ilmuwan Muslim, diantaranya Sayyid Usman dan Nashiruddin al-Thusi. Sayyid Usman misalnya, dalam karyanya “Tahrīr Aqwā al-Adillah fī Tahshīl ‘Ain al-Qiblah” menginformasikan tentang peristiwa ini. Dalam karyanya ini Sayyid Usman menampilkan ilustrasi dan visualisasi Rasdul Kiblat di Jawa-Melayu (Nusantara). Adapun tata cara mempraktikkannya seperti dijelaskan Sayyid Usman adalah dengan menghadapkan wajah ke Matahari (saat di atas Kakbah) yaitu saat istiwak di kota Makkah, yaitu selama dua hari dalam setahun, yaitu (menurut Sayyid Usman) pada tanggal 30 Mei dan 18 Juli. Pada dua waktu dan dua hari ini Matahari berada di atas Kakbah, dengan catatan saat itu tidak ada penghalang di sekitarnya. Ketika itu, deklinasi Matahari bersesuaian dengan lintang kota Makkah (yaitu 21.5 derajat). Maka ketika itu siapa saja yang menghadap ke Matahari, atau menghadap melalui bayang-bayang suatu benda tegak lurus, maka sesungguhnya dia telah menghadap ke bangunan Kakbah secara hakiki (Tahrīr Aqwā: lembar ke-16).
Berikut pernyataan Sayyid Usman tersebut,
الفصل الثاني عشر في بيان كيفية أخرى لمعرفة سمت الكعبة من طريق الأطوال والعروض أيضا مع محاذاة الشمس فوق الكعبة في وقت الاستواء في مكة المشرفة وذلك في يومين في السنة الأول لست مضت من برج الجوزاء الموافقة للثلاثين من شهر مي والثاني لأربع وعشرين من برج السرطان الموافق للثمانية عشر من شهر جولي ففي هذين الوقتين في هذين اليومين تكون الشمس فوق الكعبة بالمحاذاة الكلية بحيث لم يوجد شيء من الظل في جوانبها الأربعة لموافقة ميل الشمس عرض مكة وهو إحدى وعشرون درجة ونصف درجة فحينئذ كل من استقبل عين الشمس في إحدى تلك الساعتين ممن بعد من مكة المشرفة أو استقبل الظل شيئ مستقيم بينه وبين الشمس فقد استقبل الكعبة حقيقة
“Fasal ke-12, tentang penjelasan tata cara lain mengetahui zenit Kakbah melalui metode lintang dan bujur, juga dengan menghadap Matahari di atas Kakbah pada saat istiwak di kota Makkah Mulia, yaitu pada dua hari dalam setahun. Pertama, enam berlalu dari rasi Jauza’ yang bertepatan 30 Mei. Kedua, 24 dari rasi Sarathan yang bertepatan 18 Juli. Maka pada dua waktu dan dua hari ini Matahari berada di atas Kakbah yaitu dengan menghadap sempurna sekira tidak ada bayang-bayang di empat sisinya, karena deklinasi Matahari bersesuaian dengan aradh Makkah yaitu 21.5 derajat. Maka ketika itu orang yang menghadap Matahari, pada dua waktu itu, yang jauh dari Makkah Mulia, atau orang yang menghadap bayang-bayang suatu benda lurus dimana antara dia dan Matahari, maka sesungguhnya dia telah menghadap Kakbah secara presisi” (Tahrīr Aqwā, 16).
Mada Sanjaya dalam karyanya “Astronomi Ilmu Falak Habib Usman bin Yahya Mufti Betawi (1822-1914)” melakukan telaah terhadap rumusan Sayyid Usman tentang Rasdul Kiblat tersebut. Sanjaya juga melakukan pemrograman Python 3.9 untuk menentukan waktu Rasdul Kiblat yaitu dengan mengacu pada buku berjudul “Mekanika Benda Langit” karya Rinto Anugraha dan “Astronomical Algorithms” karya Jean Meeus. Melalui analisis algoritmanya, Sanjaya menjelaskan bahwa peristiwa Rasdul Kiblat era Sayyid Usman yang terjadi pada 30 Mei 1902 terjadi pada jam 12:17:53 waktu Makkah atau 16:17:53 WIB. Adapun Rasdul Kiblat yang terjadi pada 18 Juli 1902, terjadi pada jam 16:26:36 WIB. Dengan mengutip Rinto Anugraha, Sanjaya menyatakan bahwa peristiwa Rasdul Kiblat masih akurat dilakukan pengamatan selama dalam rentang waktu 26-30 Mei dan 14-18 Juli setiap tahun. Dengan demikian metode Rasdul Kiblat Sayyid Usman menurutnya sangat akurat.
Adapun Nashiruddin al-Thusi, dalam karyanya yang berjudul “at-Tażkirah fī ‘Ilm al-Hai’ah” secara singkat mengurai fenomena Rasdul Kiblat. Menurutnya, ada banyak cara dalam menentukan arah kiblat, salah satunya adalah dengan memanfaatkan momen tatkala Matahari melintasi Makkah. Berikut pernyataan al-Thusi tersebut,
ولمعرفة سمت القبلة طرق كثيرة لا يليق إيرادها ها هنا فلنقتصر على وجه سهل وهو أن الشمس تكون مارة بسمت رأس مكة عند كونها في الدرجة الثامنة من الجوزاء والثالثة والعشرون من السرطان وقت انتصاف النهار هناك . والفصل بين نصف نهارها ونصف نهار سائر البلدان يكون بقدر التفاوت بين الطولين فليؤخذ التفاوت ويؤخذ لكل خمسة عشر جزءا ساعة ولكل جزء أربع دقائق فيكون ما اجتمع ساعات البعد عن نصف النهار وليرصد في ذلك اليوم ذلك الوقت قبل نصف النهار إن كانت مكة شرقية أو بعده إن كانت غربية فسمت الظل ساعتئذ يكون سمت القبلة
“Terdapat ragam cara mengetahui zenit kiblat (samt al-qiblah) –tidak tepat menguraikannya disini–, namun secara mudah dan singkat; matahari akan melalui titik zenit (samt ar-ra’s) ketika matahari berada pada posisi 8 derajat di rasi Jawzā’ (Gemini) dan 23 derajat di rasi Saraṭān (Cancer) pada waktu pertengahan hari. Selisih (al-faḍl) antara tengah hari (niṣf nahār) matahari ketika melintas dengan selisih tengah hari (niṣf nahār) diberbagai tempat akan seukuran (qadr at-tafāwut) dua kali lipat, maka diambil-lah selisih tersebut. Berikutnya ditetapkan selisih tiap-tiap 15 derajat satu jam, dan satu derajat empat menit, maka hasilnya adalah jarak waktu dari tengah hari. Dan untuk melihat fenomena pada hari itu adalah pada waktu sebelum tengah hari jika Mekah berada disebelah timur, atau sesudahnya jika Mekah berada disebelah barat, maka bayangan itu adalah waktu terjadinya zenit kiblat” (at-Tadzkirah fi ‘Ilm al-Hai’ah (1993): 272).
Patut dicatat, baik Sayyid Usman maupun Nashiruddin al-Thusi, keduanya sejatinya tidak memperkenalkan terminologi “Rasdul Kiblat” (Arab: rashd al-qiblah). Istilah ini tampaknya muncul belakangan, dan tampaknya hanya populer di Indonesia. Wallahu a’lam[]