Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala OIF UMSU
Ini adalah dua buku yang ditulis dalam dua bahasa (bahasa Latin ejaan lama dan bahasa Arab Melayu) karya Al-Habib Sayyid Usman (nama lengkapnya Al-Habib Sayyid Usman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya al-‘Alawy al-Husainy, wafat tahun 1331 H/1913 M). Ia adalah seorang tokoh ulama yang di zamannya dikenal kontroversial karena berasosiasi dengan pemerintah kolonial Belanda.
Buku karya Sayyid Usman ini ditulis secara ringkas dan singkat, dan tampaknya buku ini ditulis menjawab dinamika dan problematika yang terjadi di tengah masyarakat waktu itu yaitu terkait persoalan penentuan awal bulan, khususnya tentang hisab dan rukyat. Bahkan dari judulnya tampak secara khusus buku ini mengangkat tema tentang awal puasa dan awal lebaran.
“Kijker Boelan Boewat Memoelakan Poewasa dan Boewat Lebaran” dalam bahasa Latin, karya Sayyid Usman (w. 1331 H/1913 M), diterbitkan Albrecht & Co, tahun 1898 M
كيكير بولن بواة مملاكن فواس دان دبواة لباران
Karya Sayyid Usman (w. 1331 H/1913 M), dalam bahasa Arab Melayu. Dibagian akhir buku terdapat keterangan bahwa buku ini terbitkan di Percetakan Sayyid Yahya bin ‘Utsman bin Abdillah bin Yahya, Tanah Abang, pada bulan Rabi’ ats-Tsany tahun 1342 H
Bila ditelaah, ada beberapa poin dalam buku ini. Pertama, meskipun tidak secara eksplisit, buku ini sejatinya memuat dan membahas diskursus hisab dan rukyat yang berlangsung kala itu. Kedua, dalam karyanya ini, Sayyid Usman mendukung dan menggunakan rukyat dalam penentuan masuknya awal bulan kamariah, dan ia menolak hisab berdasarkan sejumlah dalil dan argumen. Ketiga, meskipun tidak menyebutkan secara eksplisit, namun dalam hal visibilitas hilal (imkan ar-ru’yah) Sayyid Usman memberi limit hilal akan dapat teramati manakala tidak kurang dari 7 derajat (Sayyid Usman menyebutnya dengan 7 graad). Antara lain, dalam versi buku salinan Latin, Sayyid Usman mengatakan sebagai berikut, “Adapoen djikaloe tijada dapet dilihat padanja dari sebab terlaloe ketjil, ja-itoe koerang dari toedjoe graad, atau dari sebab ada jang menegah aken… maka wadjib misti di genapken boelan..” (h. 8-9). Di kali yang lain Sayyid Usman menyatakan sebagai berikut, “Demikijan lagi djikaloe satoe negeri tijada dapet melihat boelan sebab ija koerang dari toedjoeh graad, dan satoe negeri jang djaoeh dari padanja disabelah barat dapet melihat boelan dengan toedjoeh graad atau lebih, maka doewa-doweanja inipoen betoel tsahih, tijada satoe jang salah” (h. 13).
Keempat, buku ini selesai ditulis pada tahun 1898 M, yaitu jauh sebelum Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Ormas lainnya lahir. Artinya, diskursus panjang penentuan awal bulan di tanah air hari ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari diskursus dan dinamika sosial-politik dan keagamaan di Nusantara sejak silam.
Memerhatikan sejarah panjang itu, dalam perumusan kalender Islam era modern, selain diperlukan kecakapan konsep (kriteria), sejatinya juga dibutuhkan kecakapan literasi dan historis. Sebab keberadaan sosial-keagamaan dan kultur masyarakat Muslim Indonesia hari ini tidak lepas dari sejarah panjang yang dilaluinya dari sejak dahulu hingga kini, yaitu dari sejak Kementerian Agama, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Ormas lainnya belum ada hingga ada di persada Indonesia. Karena itu, menghabiskan energi dengan hanya memerhatikan aspek konsep (kriteria) dalam perumusan kalender Islam di tanah air dan melupakan aspek-aspek lainnya (diantaranya aspek literasi dan historis) sejatinya hanya memperpanjang jalan penyatuan yang telah lama dicita-citakan.
Buku ringkas Sayyid Usman ini setidaknya memberi wawasan kepada kita betapa diskursus tentang hisab rukyat dan penentuan awal puasa dan lebaran telah berlangsung dan sangat dinamis dan tak lepas dari situasi sosial masyarakat ketika itu. Wallahu a’lam[]