Nova Anggraini
Tim Planetarium OIF UMSU
Setiap malam jika langit cerah kita akan melihat banyak sekali bintang di langit. Bintang adalah benda langit yang dapat memancarkan cahaya sendiri. Dari sekian banyak bintang di langit dapat terlihat ada bintang yang lebih terang dari bintang yang lain. Tingkat terang suatu bintang dikenal dengan magnitudo. Skala magnitudo berbanding terbalik dengan tingkat terang bintang, artinya makin terang suatu bintang makin kecil skala magnitudonya. Dalam abad kedua sebelum Masehi, Hipparcus telah membaut penggolongan bintang dalam enam kategori yaitu bintang yang paling terang tampak oleh mata diberi magnitudo 1, dan bintang paling yang paling lemah cahayanya yang masih bisa dilihat denga mata telanjang diberi magnitudo 6.
Terang bintang yang terlihat merupakan ukuran dari fluks energi yang diterima oleh mata. Fluks energi adalah energi dari sebuah bintang yang diterima pengamat per satuan waktu persatuan luas. Besarnya energi yang dipancarkan oleh suatu bintang ke ruang angkasa per satuan waktu disebut luminositas (L) bintang. terang bintang yang tampak oleh pengamat bergantung pada fluks energi bintang yang sampai di mata pengamat. Bintang tampak terang bila fluks energinya besar dan tampak lemah bila fluks energinya kecil. Fluks energi sebanding dengan luminositas bintang dan berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya dari pengamat.
Pada tahun 1830, Herscel berkesimpulan bahwa bintang yang magnitudonya 1 terangnya 100 kali lebih terang dari bintang yang magnitudonya 6. Tahun 1850-an Weber dan Fechner mengajukan bahwa kepekaan penginderaan manusia bersifat logaritmik. Sekarang diberikan ketentuan bintang dengan beda magnitudo satu memiliki beda kecerlangan 2,512 kali (selisih lima magnitudo berarti perbedaan kecerlangan seratus kali), jadi jika bintang A memiliki magnitudo 1 dan bintang B memiliki magnitudo 3 berarti bintang A 6,25 kali tampak lebih terang dari bintang B. Perbandingan magnitudo semu bintang dapat menggunakan rumus Pogson berikut:
Dimana m1 adalah magnitudo bintang yang fluksnya E1, dan m2 adalah magnitudo bintang yang fluksnya E2. Persamaan di atas dikenal sebagai rumus Pogson. Jelaslah bahwa persamaan (1) hanya memberikan kecerlangan relatif dua objek. Untuk itu, perlu ditetapkan suatu objek sebagai standar. Umumnya, bintang Vega (α-Lyrae) dipilih sebagai standar dengan mengeset magnitudo semunya (mVega = 0). Namun semakin berkembangnya alat-alat penelitian yang lebih canggih merubah nilainya menjadi 0,03 (mVega = 0,03).Sistem magnitudo dibuat dengan mendasarkan diri pada mata manusia yang memiliki respon tidak linear terhadap cahaya. Mata dirancang untuk menahan perbedaan dalam kecerlangan. Ini adalah keistimewaan mata yang membuatnya dapat berpindah dari ruang gelap ke tempat yang terang tanpa mengalami kerusakan.
Fluks energi bintang berbanding terbalik dengan kuadran jaraknya, sehingga terang bintang yang terlihat oleh mata tidak bisa membandingkan mana yang sebenarnya lebih terang bintang atau lebih lemah dari bintang lainnya. Terang bintang yang terlihat oleh mata dinamakan magnitudo tampak atau magnitudo semu. Magnitudo tampak (m) dari suatu bintang, planet atau benda langit lainnya adalah pengukuran dari kecerahan atau kecemerlangan yang tampak, yaitu banyaknya cahaya yang diterima dari objek itu kepada pengamat di Bumi.
Gambar 2. 10 bintang paling terang pada malam hari (sumber: https://apod.nasa.gov)
Magnitudo mutlak adalah magnitudo bintang jika bintang tersebut berada pada jarak 10 parsek. Nilainya dapat ditentukan apabila magnitudo semu dan jarak bintang diketahui. Dengan “menempatkan” bintang-bintang pada jarak yang sama, kita bisa tahu bintang mana yang benar-benar terang.Hubungan antara magnitudo semu dan magnitudo mutlak suatu bintang dapat dicari dengan menggunakan persamaan Pogson. Berikut 10 bintang paling terang yang dapat dilihat pada malam hari.
Tabel 1. 10 bintang paling terang yang dapat dilihat pada malam hari (sumber: http://www.astronomytrek.com)
No | Nama Bintang | Rasi Bintang | Asensio Rekta | Deklinasi | Mag. tampak | Mag. mutlak | Jarak
(tahun cahaya) |
1 | Sirius | Canis Mayor | 6j 45m | -16o 42’ 58” | -1,46 | 1,4 | 8,6 |
2 | Canopus | Carina | 6j 23m | -52o 41’ 45” | -0,72 | -2,5 | 74 |
3 | Alpha Centauri | Centaurus | 14j 39m | -60o 50’ 07” | -0,27 | 4,4 | 4,3 |
4 | Arcturus | Bootes | 14j 15m | 19o 10’ 57” | -0,04 | 0,2 | 34 |
5 | Vega | Lyra | 18j 36m | 38o 47’ 01” | 0,03 | 0,6 | 25 |
6 | Capella | Auriga | 5j 16m | 45o 59’ 53” | 0,08 | 0,4 | 41 |
7 | Rigel | Orion | 5j 14m | -08o 12’ 06” | 0,12 | -8,1 | 1400 |
8 | Procyon | Canis Minor | 7j 39m | 05o 13’ 30” | 0,38 | 2,6 | 11,4 |
9 | Achernar | Eridanus | 1j 37m | -57o 14’ 12” | 0,46 | -1,3 | 139 |
10 | Betelgeuse | Orion | 5j 55m | 07o 24’ 25” | 0,50 | 1,4 | 8,6 |