Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Kepala Observatorium Ilmu Falak UMSU
Secara historis dan melalui penelusuran sumber-sumber astronomi karya para astronom Muslim di peradaban Islam, ditemukan aneka pola dan tipologi kajian waktu Subuh yang berkembang di dunia Islam, dimana antara satu dengan lainnya saling berkaitan. Berikut adalah beberapa pola dan atau tipologi kajian tersebut.
Pertama, berdasarkan kondisi dan keadaan kala itu, dipastikan bahwa instrumen yang digunakan para astronom Muslim dalam penelitian waktu Subuh adalah pengamatan secara visual, tidak dengan instrumen optik. Pengamatan fajar secara visual tampaknya menjadi cara yang lazim digunakan, sebab teknologi belum berkembang waktu itu.
Kedua, berdasarkan sejumlah literatur, menunjukkan bahwa lamanya waktu penelitian (pengamatan) masing-masing astronom tidak diketahui secara persis. Namun beberapa sumber memberikan informasi bahwa observasi waktu fajar (dan Isya) dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama. Ibn Syathir (w. 777 H/1375 M) misalnya dalam karyanya yang berjudul “Risālah an-Naf’ al-‘Amm fī al-‘Amal bi ar-Rub’ al-‘Amm” (telah di tahkik oleh Osama Fathi dari Mesir) menginformasikan bahwa dia melakukan pengamatan fajar (dan syafak) dalam waktu yang cukup lama (bertahun-tahun) dan terus menerus. Ibn Syathir sendiri dalam karyanya ini menetapkan dip Subuh -19 derajat.
Ketiga, standar angka kedalaman Matahari di bawah ufuk timur sejatinya dihasilkan berdasarkan observasi, penelitian, dan pengujian. Hal ini antara lain dapat dilihat dalam pernyataan Nashiruddin al-Thusi (w. 672 H/1273 M), direktur Observatorium Maragha, dalam karyanya “at-Tadzkirah fī ‘Ilm al-Hai’ah” dan Qadhi Zadah ar-Rumy (w. 840 H/1436 M) dalam karyanya “Syarh Mulakhkhash al-Jighmīny fī al-Hai’ah”. Dalam uraiannya dua astronom Muslim ini diantaranya menyatakan, “wa qad ‘urifa bi at-tajribah” (sungguh diketahui melalui eksperimen). Maksudnya adalah bahwa anggitan dip waktu Subuh yang mereka rumuskan dan tetapkan dilakukan berdasarkan observasi, penelitian, dan pengujian. Adapun Nashiruddin al-Thusi dan Qadhi Zadah ar-Rumy masing-masing menetapkan dip Subuh -18 derajat.
Keempat, beberapa tokoh astronom menyatakan bahwa standar angka dip Subuh sebagai tertera dalam karya-karya mereka sejatinya telah menjadi konsensus para tokoh (ulama dan ilmuwan) sebelumnya dan juga di zaman itu, yang mana standar itu dianggap muktamad (terpercaya). Astronom ‘Izzuddin al-Wafa’iy (w. 879 H/1474 M) misalnya dia menyatakan sebagai berikut, “…adalah yang dipedomani di kalangan peneliti bidang ini adalah dari kalangan ahli observasi dan lainnya, serta dapat dipertanggung jawabkan di zaman sekarang, wallāhu a’lam”. ‘Izzuddin al-Wafa’iy sendiri menetapkan dip Subuh -19 derajat.
Kelima, pada umumnya, aplikasi standardisasi angka kedalaman Matahari di bawah ufuk sebagai dikemukakan oleh para astronom Muslim adalah dengan menggunakan dua instrumen astronomi populer di peradaban Islam yaitu Astrolabe (Arab: al-Usthurlāb) dan Rubu Mujayyab (Arab: Rub’ al-Mujayyab). Namun patut dicatat, penggunaan dua instrumen ini lebih bersifat sebagai instrumen penghitung waktu, bukan instrumen pencari dan atau penjejak fajar dan syafak itu sendiri.
Keenam, dalam praktiknya, beberapa tokoh astronom menjelaskan aspek fisis dan matematis syafak dan fajar. Antara lain dapat dilihat dalam uraian Abu Raihan al-Biruny (w. 440 H/1048 M) dalam dua karyanya “al-Qanun al-Mas’udy” dan “Isti’ab Wujuh al-Mumkinah fi Shan’ah al-Usthurlab”. Lalu Mu’ayyid ad-Din al-‘Urdhy (w. 664 H/1266 M) dalam karyanya “Kitab al-Hai’ah”, lalu Nashiruddin al-Thusi (w. 672 H/1273 M) dalam karyanya “at-Tadzkirah fi ‘Ilm al-Hai’ah”, dan lainnya. Jika dibaca dan telaah, empat karya ini memuat uraian sangat detail dan komprehensif yaitu uraian secara fisis, matematis, dan astronomis fenomena fajar (dan syafak). Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya para tokoh astronom Muslim ini mengerti dan menelaah dengan baik persoalan ini, terlebih hal ini terkait dengan ibadah. Bagi para astronom Muslim silam, persoalan waktu fajar (dan syafak) bukan semata persoalan fenomena alam, namun juga sangat terkait dengan ibadah salat yaitu Subuh (dan Isya). Al-Biruny sendiri dalam karyanya ini menetapkan dip Subuh -17 dan -18 derajat, Al-‘Urdhy menetapkan -18 dan -19 derajat, sedangkan Al-Thusi menetapkan -18 derajat.
Ketujuh, terdapat sejumlah tokoh (ulama dan astronom) yang dalam pembahasan dan uraiannya hanya menukil dari pendapat dan atau literatur-literatur sebelumnya, seperti dilakukan oleh Syekh Muhammad bin Yusuf al-Khayyath dalam karyanya “La’alā’ ath-Thall an-Nadiyah Syarh al-Bākūrah al-Janiyah fī ‘Amal al-Jaibiyyah”. Diantaranya Al-Khayyath menyatakan, “syafak di kalangan ahli observasi, pemuka bidang ini, adalah ketika Matahari terbenam dengan kedalaman di bawah ufuk 17 derajat. Sedangkan terbit fajar apabila antara Matahari dan ufuk -19 derajat”. Pernyataan Al-Khayyath ini secara jelas menunjukkan bahwa rumusan -17 derajat (untuk Isya) dan -19 derajat (untuk Subuh) yang ia tetapkan itu adalah nukilan, bukan hasil observasi Al-Khayyath. Demikian lagi Al-Ghazy dalam karyanya “Riyādh al-Mukhtār Mir’ah al-Mīqāt wa al-Adwār”, selain menguraikan aspek fisis dan matematis tentang keduanya, tampak bahwa Al-Ghazy banyak menukil dan menginformasikan pendapat-pendapat yang pernah berkembang sebelumnya. Al-Ghazy sendiri menetapkan dip Subuh pada kedalaman -19 derajat. Wallahu a’lam[]