Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dosen FAI UMSU dan Kepala Observatorium Ilmu Falak UMSU
Diskursus hisab rukyat dalam kaitan dengan penentuan awal bulan kamariah tampaknya tak pernah usai dibicarakan umat Islam. Sejak zaman sahabat sampai hari ini sejatinya telah ada dinamika, dialektika, dan problematika tentang persoalan ini. Bila disimak, perdebatan itu sesungguhnya berada pada ranah interpretasi dalil. Salah satu ulama kontemporer yang menaruh perhatian terhadap persoalan ini adalah Muhammad Ibrahim al-Hafnawi, berasal dari Mesir dan salah seorang guru besar Universitas Al-Azhar.
Nama lengkapnya adalah Prof. Dr. Muhammad Ibrahim al-Hafnawi. Beliau adalah guru besar dan kepala jurusan (ra’is al-qism) Usul Fikih Fakultas Syariah dan Undang-Undang Universitas Al-Azhar cabang Tanta, sebelumnya ia pernah menjabat Dekan I (wakīl kulliyyah) tahun 2002 M sampai tahun 2006 M. Ia menyelesaikan jenjang pendidikan S3 bidang Usul Fikih pada tahun 1982 M. Selain menjabat kepala jurusan, ia juga adalah anggota komite peningkatan guru besar Usul Fikih (al-Lajnah al-‘Ilmiyyah ad-Dā’imah li Tarqiyyah Asātidzah Ushūl al-Fiqh) Universitas Al-Azhar. Beberapa karyan Muhammad Ibrahim al-Hafnawi adalah: (1) “al-Fath al-Mubīn fi Ta’rīf Mushthalahāt al-Fuqahā’ wa al-Ushūliyyin” (Petunjuk Nyata Tentang Terminologi Istilah-Istilah Fukaha dan Ahli Usul Fikih). Buku ini membahas tentang sejarah dan peristilahan fikih dalam mazhab-mazhab fikih Islam. (2) “Dirāsāt Ushūliyyah fī al-Qur’ān al-Karīm” (Kajian Usul Tentang al-Qur’an Mulia), membahas tentang usul di dalam al-Qur’an. (3) “Irsyād al-Anam Ilā Ma’rifah al-Ahkām” (Petunjuk Manusia Untuk Mengetahui Hukum-Hukum). (4) “Syarh al-Kaukab as-Sāthi’” (Syarah al-Kaukab as-Sathi’) karya al-Hafizh Jalaluddin as-Suyūthi (Tahkik), an-Nāsikh wa al-Mansūkh min al-Hadīts (Nasikh dan Mansukh Dalam Hadis) karya Ibn Syahin (Tahkik), (5) “Fatāwā Syar’iyyah Mu’āshirah” (Fatwa-Fatwa Syar’i Kontemporer), dan lain-lain.
Sejauh pengetahuan penulis, pandangan Prof. Dr. Ibrahim al-Hafnawi tentang hisab rukyat atau penentuan awal bulan kamariah hanya dapat dilihat pada karyanya yang berjudul “Fatāwā Syar’iyyah Mu’āshirah” (Fatwa-Fatwa Syar’i Kontemporer), yaitu sebuah buku yang berisi kumpulan fatwa seputar persoalan kontemporer umat Islam.
Dalam pandangannya terhadap hisab astronomis penentuan awal bulan, al-Hafnawi cendrung memberi ruang terhadap ilmu ini (baca: hisab), meskipun tidak setegas Syaikh Muhammad Rasyīd Ridha, Ahmad Muhammad Syākir, Syaikh Ali Jum’ah, dan ulama-ulama kontemporer lainnya. Al-Hafnawi menguraikan, para fukaha pada umumnya terhenti pada zahir hadis Nabi Saw “shumū li ru’yatihi wa afthirū li ru’yatihi, fa in ghumma ‘alaikum fa akmilū ‘iddata Sya’bān tsalātsin” (puasalah kamu karena melihat hilal, dan berbuka (berhari raya) lah karena melihat hilal, maka jika kamu terhalang oleh awan, maka sempurnakanlah bilangan bulan Syakban menjadi 30 hari). Al-Hafnawi mengatakan, terhadap hadis ini para fukaha menyimpulkan bahwa kewajiban puasa hanya melalui dua cara: (1) melalui rukyatul hilal (pengamtan hilal) pada menjelang akhir bulan (tanggal 29) Syakban, atau (2) menyempurnakan bilangan Syakban menjadi 30 hari. Seperti dimaklumi, dua cara (metode) ini adalah cara yang popular dan merupakan apa yang dipraktikkan di zaman Nabi Saw dan sahabat.
Para fukaha berpendapat tidak ada intervensi ilmu astronomi (lā dakhla li falak) dalam menetapkan awal puasa ataupun berbuka (hari raya) terhadap dua cara di atas. Namun Al-Hafnawi juga menguraikan beberapa pendapat ulama kontemporer yang mendukung hisab, antara lain Syaikh Muhammad Rasyīd Ridha, Syaikh az-Zarqa, dan Syaikh Ahmad Muhammad Syākir. Terkait dengan ilmu astronomi ini, menurut al-Hafnawi, yang menjadi penolakan adalah apa yang disebut dengan astrologi (at-tanjīm, an-nujūm) yaitu suatu ilmu yang pelakunya mengklaim dapat mengetahui rahasia (kejadian) yang akan datang melalui perantara bintang dan lainnya, dimana hal ini telah jelas ilegal secara syar’i.
Ilmu astronomi modern adalah cabang ilmu yang berdasarkan pada data observasi dan eksperimen yang memiliki akurasi ilmiah. Dengan keilmiahannya ini pula dapat mengantarkan manusia sampai ke permukaan bulan. Persentase kesalahan ilmu ini hanya mencapat satu berbanding seratus ribu perdetik. Dalam kaitan dengan penentuan awal bulan, sejatinya ilmu ini memberi informasi akurat tentang kelahiran hilal (mīlad al-hilāl) secara astronomis, dan posisinya di atas horison dalam skala menit dan bahkan detik.
Lebih lanjut al-Hafnawi mengatakan, yang rajih menurutnya penggunaan ilmu ini (hisab astronomis) hanya sebatas verifikasi rukyat (fi nafyi ar-ru’yah), bukan menjadi sarana penentu (itsbāt). Artinya, apabila hisab astronomis menyatakan tidak ada kemungkinan hilal dapat terlihat (rukyat), misalnya karena hilal belum lahir atau sebab lainnya, maka wajiblah dalam hal ini menolak setiap kesaksian orang yang mengaku melihat hilal. Penolakan ini didasarkan pada kenyataan bahwa ilmu pengetahuan modern menolak kesaksian tersebut. Bahkan, menurut al-Hafnawi, apabila hilal memang sudah tidak mungkin dapat terlihat, pada dasarnya tidak diperlukan lagi untuk mencari dan atau melihat hilal. Namun apabila ilmu pengetahuan menginformasikan telah terjadi kelahiran bulan (mīlad al-hilāl) pada waktu (jam) tertentu, maka dalam hal ini memberi konsekuensi untuk menetapkan awal bulan dengan menggunakan rukyat sesuai hadis Nabi Saw dan pendapat kebanyakan fukaha.
Dari uraian di atas, tampak bahwa pendapat Prof. Dr. Muhammad Ibrahim al-Hafnawi tentang problematika penentuan awal bulan secara tegas mengapresiasi pendapat beberapa fukaha Syafiiyah, seperti as-Subki, Ibn Daqīq al-‘Id, dan lain-lain. Selain itu, Profesor al-Hafnawi juga terkesan menyesuaikan pandangannya ini dengan konsep penentuan awal bulan kamariah yang dipedomani oleh pemerintah Mesir (Prof. Dr. Ibrahim al-Hafnawi sendiri adalah orang Mesir), yaitu akumulasi dan akomodasi hisab dan rukyat. Sehingga pandangannya yang demikian ini terbilang wajar.[]