Oleh : Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA
Kepala Observatorium Ilmu Falak UMSU
Menurut Dallal, astronomi adalah sains eksakta yang sangat diharagai oleh para ahli agama (fukaha), dan ia terus dipelajari dan dikaji oleh manusia sepanjang zaman. Dalam praktiknya, ilmu ini bukan hanya berkaitan dengan persoalan keilmuan semata, namun juga terkait dengan aktifitas sosial dan ibadah manusia, dan khusus bagi umat Islam bekaitan dengan ibadah yaitu salat dan puasa (arah kiblat, awal bulan, waktu salat, dan lain-lain). Dalam hierarki, klasifikasi, dan filosofinya, astronomi berkembang dalam dua corak yaitu astronomi teoretis dan astronomi praktis. Corak teoretis menitikberatkan pada pengkajian benda-benda langit dan alam raya (al-kawn) seperti diilustrasikan oleh para ulama bidang ini terhadap gerak semu benda-benda langit. Pelopor utama bidang ini adalah Cladius Ptolemeus, seorang astrolog-astronom asal Yunani yang bermukim di Alexandria-Mesir, dalam maha karyanya ‘Almagest’ (Arab: al-majisthy). Obyek kajian dalam astronomi teoretis ini pada umumnya adalah benda-benda langit yang terlihat ‘tetap’, yang dalam literatur-literatur klasik disebut “al-kawakib ats-tsabitah” (planet-planet tetap), untuk membedakannya dengan tujuh benda langit lain yang tampak beredar disekitar Bumi. Tujuh planet itu adalah: Matahari, Bulan, Merkurius, Venus, Mars, Juviter, dan Saturnus. Lima yang terakhir disebut “al-kawakib al-mutahayyirah” (planet-planet berbolak-balik), sementara itu Bumi diasumsikan sebagai pusat tata surya (geosentris). Tokoh utama di bidang ini dapat disebutkan antara lain Ibn Sina dan al-Biruni.
Sedangkan corak praktis adalah astronomi yang memokuskan kajiannya pada pengkajian dan observasi benda-benda langit dan memformulasinya dalam sejumlah alat-alat astronomi serta mendokumentasikannya dalam karya. Zij (tabel astronomi), yang menyimpan data gerak harian matahari, bulan dan benda-benda langit lainnya, adalah bentuk konkrit dari produk astronomi praktis ini. Beberapa tokoh dibidang ini antara lain: Abd ar-Rahman ash-Shufi (w. 386 H) dengan karyanya “Shuwar al-Kawakib ats-Tsamaniyah wa al-Arba’in”, Ibn Yunus (w. 399 H) dengan karyanya “az-Zij al-Hakimy al-Kabir”, Ibn al-Majdy (w. 850 H) dengan karyanya “ad-Durr al-Yatim”, dan lain-lain. Dua model astronomi ini, meskipun keduanya saling berhubungan, ia menjadi fokus para astronom Muslim dan terlihat dari karya-karya yang mereka tulis.
Dalam konteks Indonesia, minat astronomi sejatinya sudah tampak dan tidak keluar dari dua ranah astronomi di atas. Antara lain terlihat sampai hari ini ada banyak lembaga dan komunitas yang menggeluti bidang ini, baik profesional maupun amatir, baik individual maupun komunal, baik negeri maupun swasta. Bila disimak, di Indonesia kecendrungan astronomi yang populer dan diminati tampaknya baru pada ranah astronomi praktis dengan tema favorit masalah penentuan awal bulan. Hal ini sepenuhnya dapat dimaklumi karena kajian astronomi praktis memang sangat terkait dengan persoalan waktu-waktu ibadah, dimana satu diantaranya adalah persoalan penentuan awal bulan kamariah. Kajian astronomi praktis ini pada era abad pertengahan juga merupakan tema diminati seperti terlihat dalam literatur-literatur astronomi klasik yang senantiasa memuat bahasan seputar rukyatul hilal (ru’yah al-hilal).
Hanya saja, ada kecendrungan kajian astronomi praktis di Indonesia masih bersifat ritual dan rutin, dimana para pelaku dan pengkaji pada bidang ini masih terpaku pada ‘rutinitas’ tugas dan ‘ritualitas’ agama semata, dan sedikit sekali adanya keinginan kuat mencari terobosan dan inovasi baru (baik teoretis, praktis maupun filosofis) untuk dapat disumbangkan bagi peradaban astronomi Islam di negeri ini. Syamsul Anwar mengkritisi para pengkaji dan ahli di bidang ini sebagai bersikap inward looking yang melihat persoalan hisab rukyat, yang notabenenya bagian dari kajian astronomi praktis, dari sisi rutinitas pekerjaan keilmuan saja. Anwar juga menyayangkan kebanyakan astronom di negeri ini ‘enggan’ menyapa perkembangan terkini, sebagaimana halnya ‘enggan’ melihat permasalahan dalam perspektif peradaban Islam secara lebih luas.
Berikutnya, dalam ranah astronomi praktis sekalipun, bila ditilik dan dibanding dengan negara-negara muslim lainnya, harus diakui negara Indonesia tertinggal jauh. Ketika tradisi perdebatan yang menjenuhkan antara Pemerintah, Muhammadiyah dan NU tak kunjung usai, negara-negara Muslim lain di dunia telah melangkah jauh dan telah lama meninggalkan perdebatan klasik hisab rukyat. Meski tak lupa akan urgensi dan makna substansial dari bulan Ramadan, namun harus diakui berbagai elemen di negeri ini tampak masih terjebak pada perdebatan metode dan kriteria yang notabenenya merupakan ranah fikih yang bernuansa sains yang dalam tabiatnya memang senantiasa ada dialektika dan problematika.
Ketertinggalan dimaksud juga tampak dimana tatkala negara-negara di dunia mulai merumuskan apa yang disebut dengan kalender global, gairah dan semangatnya di Indonesia tampak biasa-biasa saja. Justru, yang tampak luar biasa tatkala ada potensi perbedaan antara NU-Pemerintah dengan Muhammadiyah. Bila hal ini muncul, semua unsur, mulai ilmuwan (astronom profesional, pegiat dan penghobi, sampai masyarakat awam sekalipun ikut berdialektika membicarakan hal yang sesungguhnya tidak prioritas bila dilihat dalam perspektif peradaban Islam modern.
Kita harus mengarahkan bahwa astronomi tidaks emata rutinitas dan ritualitas, namun ia adalah dalam konteks peradaban. Sulaiman, astronomi adalah miniatur majunya peradaban sebuah bangsa. Kegemilangan peradaban Islam sejatinya ada padang bidang sains dan teknologi, diantaranya sains astronomi.
Artikel ini telah diterbitkan di : https://infomu.co/2020/07/17/kolom-dr-arwin-dinamika-pengkajian-astronomi-di-indonesia/