Oleh: Marataon Ritonga, S.Pd.I
Sekretaris OIF UMSU
Jika kita merujuk kepada landasan hukum persoalan-persoalan menentukan ketinggian fajar shadiq, maka dapat kita pahami bahwa hal tersebut termasuk kepada salahsatu persoalan fiqih atau lahan ijtihadi. Karena dari sekian banyak ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi saw yang menjelaskna tentang waktu fajar atau subuh, namun tidak ditemukan secara rinci kapan waktu kemunculan fajar shadiq tersebut. Darisinilah muncul khilafiyyah dalam menentukan ketinggian fajar shadiq untuk memulai shalat subuh. Sehingga sesuai dengan status dan wataknya, fiqih yang zhanni (kebenaran relatif) ini tidak mengikat. Nuansa fiqih dari persoalan menentukan ketinggian fajar shadiq ini dapat kita lihat dengan jelas rentetan sejarah perselisihan pemahaman yang terjadi antara para ulama dan ahli astronomi/ahli falak, dimana munculnya mazhab klasik dan modern secara makro adalah merupakan manifestasi dan refleksi dari perbedaan pemahaman terhadap dasar hukum dalam menentukan ketinggian fajar shadiq. Secara intern, baik mazhab klasik maupun mazhab modern juga terdapat perbedaan. Sehingga oleh para ahli fiqih (faqih), persoalan ini dianggap masalah khilafiyyah klasik, atau dengan kata lain, termasuk hukum Islam kategori fiqih yang diperselisihkan dikalangan fuqaha sebagai perbedaan ijtihad yang ditempuhnya.
Perbedaan antara mazhab klasik dan modern dalam menentukan ketinggian fajar shadik untuk memulai waktu salat subuh adalah merupakan lahan ijtihadi yang belum dapat diselesaikan. Dalam beberapa karya buku Astronom klasik dan astronom modern telah didapatkan adanya perbedaan pemahaman, dan hasil penelitian terhadap ketinggian fajar shadiq dalam menentukan awal waktu salat subuh, baik itu dengan menggunakan alat klalsik dan alat modern. Menurut mazhab klasik kemunculan fajar shadiq itu saat berada pada ketinggian 20-18 derajat dibawah ufuk sedangkan menurut mazhab modern kemunculan fajar shadiq itu berada pada ketinggian 16-13 derajat dibawah ufuk.
Gambar: Langit saat Fajar
Di Indonesia para ulama ahli hisab dan rukyat telah merumuskan ketinggian Matahari dibawah ufuk berdasarkan pengamatan terdahulu ditetapkan berkisar mulai -18 derajat s.d. -20 derajat dibawah ufuk. Penentuan kriteria tersebut merupakan hasil sebuah ijtihadiyah dikalangan para ulama, dengan adanya perbedaan dalam berijtihad dianggap biasa saja. Sebagaimana dalam Qawa’id Fiqhiyyah disebutkan الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد
“ijtihad tidak dibatalkan oleh ijtihad lainnya”.
Di Indonesia, dari dahulu sampai sekarang ini kriteria yang dipakai untuk awal waktu shalat subuh yaitu ketinggian Matahari dibawah ufuk -20 derajat, dan ini sudah dianggap sesuai dengan syariah dan hasil penelitian yang kuat. Kriteria inilah yang saat ini dipakai oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama RI untuk dipakai dalam melaksanakan shalat subuh di Indonesia. Ketinggian -20 derajat ini merupakan hasil ijtihad seorang ulama klasik di Indonesia yaitu “Saadoe’ddin Djambek”. Para ahli astronomi/ilmu falak melacak hasil penelitian Saadoe’ddin Djambek yang mengatakan ketinggian fajar shadiq saat waktu subuh pada ketinggian -20 derajat, akan tetapi sampai sekarang ini tidak ditemukan bukti saintifik bahwa kemunculan fajar shadiq itu berada pada ketinggian -20 derajat dibawah ufuk. Oleh karena itu, para astronom modern terus melakukan penelitian terkait kemunculan fajar shadiq tersebut dengan berbagai jenis instrumen untuk memastikan kembali pada ketinggian berapa kemunculan fajar shadiq tersebut.
Gambar: Tiang SQM yang berisi Alat SQM yang mendeteksi kecerahan langit malam di OIF UMSU
Astronom modern menggunakan salahsatu instrument modern yang bernama Sky Quality Meter (SQM) untuk mendeteksi kemunculan fajar shadiq tersebut. Di Indonesia, para astronom modern telah banyak melakukan penelitian terkait dengan kemunculan fajar shadiq, namun tidak satupun dari mereka menemukan kemunculan fajar shadiq itu pada ketinggian -20 derajat dibawah ufuk. Para astronom modern terus berijtihad dengan melakukan penelitian dengan berbagai macam jenis alat agar lebih meyakinkan dengan hasil-hasil penelitian yang nantinya akan disosialisasikan kepada masyarakat untuk ditetapkan dalam memulai awal waktu salat subuh. Perbedaan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadis merupakan lahan ijtihadi yang tidak dapat diselesaikan dengan mudah. Di Indonesia saat ini setidaknya ada beberapa astronom dan kampus yang telah melakukan penelitian terhadap kemunculan fajar shadiq, diantaranya: (1) Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (OIF UMSU), (2) Islamic Science Research Network (ISRN) UHAMKA, (3) Observatorium UAD (Yogyakarta), (4) Observatorium Bosscha, (5) Assalam Observatory (Solo), (6) Imah Noong (Bandung) dan lain-lain. Hasil sementara dari berbagai penelitian yang telah dilakukan berbagai lembaga di atas tidak satu penelitianpun yang mendapatkan bahwanya kemunculan fajar shadiq itu pada ketinggian -20 derajat. Oleh karena para peneliti terus berijtihad dengan melakukan penelitian terus-menerus untuk mendapatkan hasil yang maksimal agar bisa disampaikan kepada masyarakat nantinya.
Wallahu A’lam