Oleh: Wika Maisari
Tim Planetarium OIF UMSU
Perkembangan sains dalam dunia Islam adalah suatu hal yang perlu kita ketahui, karena seperti kita tahu bahwa ilmu pengetahuan khususnya sains merupakan ilmu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia hingga saat ini. Awal mula kemunculan dan perkembangan sains dalam dunia Islam beriringan dengan ekspansi Islam itu sendiri. Dalam kurang lebih 25 tahun setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW (632 M), kaum muslim pada waktu itu telah berhasil menaklukkan seluruh jazirah Arabia dari selatan hingga utara. Belum sampai satu abad, pada 750 M, wilayah Islam telah meliputi hampir seluruh luas jajahan di Asia dan Afrika Utara. Pembukaan negeri-negeri ini berlangsung sangat pesat dan tak terbendung. Satu persatu kerajaan demi kerajaan berhasil ditaklukkan.
Sumber gambar : SuaraIslam.com
Pada abad ke-8 hingga dengan abad 12 M, umat Islam berada pada zaman keemasan. Zaman dimana ilmu pengetahuan dan peradaban Islam berkembang pesat mencapai puncaknya. Pada saat itu umat Islam menjadi pemimpin dunia karena perhatiannya yang sangat besar tidak hanya dari sisi ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu umum, dan ilmu-ilmu murni. Pada masa ini bermunculan tokoh-tokoh dan ilmuwan yang sangat cerdas, aktif dan handal, sebut saja misalnya: Al-Kindi (185 H /807 M – 260 H /873 M), Al-Khawarizmi (w. 249 H /863 M), Al-Razi (2551 H /865 M – 313 H /925 M), Al-Farabi (258 H /870 M – 339 H /950 M), Ibn Sina (370 H /980M – 428 H /1037 M), Al-Biruni (362 H /973 M – 442 H /1051 M), Al-Ghazali (450 H /1058 M – 505 H /1111 M) dan masih banyak sederetan ilmuwan yang ide pikiranya mewarnai peradaban dunia.
Para ilmuwan tersebut oleh Sayyed Hossein Nasr, disebut sebagai figur-figur universal ilmu pengetahuan Islam. Hal tersebut tidak terlepas dari peran pemerintahan dinasti Abbasiyah. Peralihan kekuasaan pemerintahan Islam dari Dinasti Umaiyah ke Dinasti Abbasiyah (750 M) merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah peradaban Islam, yang tidak mungkin dapat dilupakan oleh insan akademik khususnya para sejarawan muslim. Hal tersebut karena dikemudian hari tidak hanya mampu memunculkan sebuah zaman keemasan, akan tetapi juga merupakan titik balik dalam perputaran sejarah dunia, yang mana dengan ditandai adanya penaklukan wilayah Afrika pada tahun 710 M, dan wilayah Spanyol pada tahun 711 M2 . Masa pemerintahan Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya dibawah pemerintahan Raja Harun al-Rosyid yang cukup terkenal dalam sejarah peradaban Islam. Pemerintahan Dinasti Abbasiyah dianggap sebagai pilar utama perkembangan sains dalam Islam, karena pada masa ini banyak bermunculan ilmuwan dan berbagai karya dalam ilmu pengetahuan.
Kesuksesan itu berlangsung sekitar lima abad lamanya, ditandai dengan produktifitas yang tinggi. Sebagai contoh, al-Battani yang mengoreksi dan memperbaiki sistem astronomi Ptolemy, mengamati mengkaji pergerakan matahari dan bulan, membuat kalkulasi baru, mendesain katalog bintang, merancang pembuatan pelbagai instrumen observasi, termasuk desain jam matahari (sundial) dan alat ukur mural quadrant. Seperti buku-buku lainnya, karya al-Battani pun diterjemahkan ke bahasa Latin, yaitu De scientia stellarum, yang dipakai sebagai salah satu bahan rujukan oleh Kepler dan Copernicus. Kemudian dalam bidang fisika ada , Ibn Bajjah yang mengantisipasi Galileo dengan kritiknya terhadap teori Aristoteles tentang daya gerak dan kecepatan. Demikian pula dalam bidang-bidang lainnya. Bahkan dalam hal teknologi, pada sekitar tahun 800an M di Andalusia (Spanyol), Ibn Firnas telah merancang pembuatan alat untuk terbang mirip dengan rekayasa yang dibuat Roger Bacon.
Seiring berjalannya waktu perjalanan sains dalam dunia islam seolah-olah mendadak berhenti. Menurut Al-Buthi, setidaknya ada dua factor yang menjadikan kemunduran umat Islam saat itu. Pertama, terpesonanya umat Islam terhadap revolusi yang terjadi di Barat sebagai tanda kebangkitan peradaban Barat pada waktu itu. Kedua, terpengaruh dengan keberhasilan Barat dalam melepaskan dirinya dari cengkeraman doktrin-doktrin gereja. Lebih lanjut, ketertinggalan umat Islam di abad ini diakibatkan oleh penyakit kronis kebanyakan umat Islam yaitu keterpikatan umat Islam terhadap peradaban Barat secara membabi buta. Dalam karyanya yang berjudul Ala Thariqi Al-Audah Ila Islam; Rasm Li Manhaj Wa Hallu Li Musykilat dan Hiwar Haula Musykilat Hadhariyah, Al-Buthi menolak sikap inferioritas peradaban Barat. Tetapi beliau menanamkan optimisme dan sikap superioritas Islam bagi kaum muda. Di sisi lain, Al-Buthi juga mengakui adanya saling ketergantungan di era pasca modern antara Islam dan Barat. Oleh karenanya, umat Islam mempunyai hak untuk mengadopsi peradaban barat yang terbukti baik dan bermanfaat secara selektif. Begitu juga dengan orang Barat juga dapat mengadopsi dari Islam apa yang mereka butuhkan untuk bebas dari kehancuran spiritual.
Umat Islam seharusnya bangkit bukan hanya dari sikap keterpikatan terhadap peradaban Barat, tetapi juga bangkit dari dialektika internal yang masih berdebat membahas antara halal haram, bid’ah dan tidak bid’ah, kafir dan tidak kafir. Peradaban lain sudah mencoba untuk meneliti kelayakan manusia untuk tinggal di Mars, umat Islam justru masih sibuk berdebat dan saling mengkafirkan satu sama lainnya. Pada akhirnya perlu kembali merenungi sebuah kaidah yang berbunyi Al-Mukhafadzotu Alal Qodim As-Sholih Wal Akhdzu Bil Jadid Ashlah. Menjaga warisan lama yang masih relevan dan mengadopsi sesuatu yang baru yang dianggap baik dan membawa maslahah, kalau perlu justru menciptakan sesuatu yang baru tersebut. Sebagaimana yang dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan muslim di masa kejayaan peradaban Islam, salah satu contohnya dengan mengadopsi filsafat-filsafat Yunani Kuno dengan membawa semangat keingintahuan ilmiah