Oleh : Khairul Bariah Ritonga, S.Pd*
TIM Planetarium OIF UMSU
Bulan memiliki lintasan teratur yang dengannya manusia dapat mengetahui bilangan bulan, karena ia berputar, memulai dari satu titik dan kembali ke titik yang sama. Jadi, dapat diambil sebuah konklusi bahwa dengan keadaan Bulan yang berevolusi terhadap Bumi dengan lintasan yang teratur, maka manusia dapat memperhitungkannya sehingga dapat digunakan untuk keperluan penanggalan.
Penggunaan Bulan Sebagai Patokan Penanggalan.
Bulan dan Matahari adalah makhluk Allah Swt yang dijadikan patokan untuk penentuan penanggalan oleh manusia. Hal ini terbukti dari realitas yang ada dalam kehidupan manusia. Sebagaimana yang terdapat dalam QS. Yunus: 5 yang artinya : “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Allah SWT. telah menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Kemudian Allah SWT. telah menetapkan kedudukan-kedudukannya agar manusia dapat mengetahui perhitungan waktu. Apabila melihat sejarah penanggalan, manusia tidak bisa melepaskan diri dari penggunaan matahari dan bulan, meskipun dengan sistem dan cara yang berbeda dalam menentukan penanggalannya.
Ada Dua Macam Pergerakan Bulan .
- Siderial month : periode yang dibutuhkan bulan untuk berputar 360° mengelilingi bumi, lamanya 27,321 hari.
- Synodic month : periode antara satu bulan baru dengan bulan baru lainnya, lamanya 29,53059 hari atau 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik. Ada perbedaan sekitar 2 hari dengan siderial month karena bumi juga berevolusi terhadap matahari pada arah yang sama, sehingga untuk mencapai konjungsi atau bulan baru berikutnya memerlukan tambahan waktu.
Dari kedua fase tersebut, yang umum digunakan dalam penentuan Kalender Hijriah adalah synodic month.
Sejarah Kalender Hijriyah
Pada awalnya, masyarakat Arab kuno menggunakan sistem lunar calendar murni. Namun, pada tahun 200 sebelum hijrah, masyarakat Arab mengubahnya menjadi sistem lunisolar calendar yang untuk mensinkronkan dengan musim maka dilakukan dengan menambah jumlah bulan atau interkalasi (al-nasî’). Setiap bulan diawali saat munculnya hilal, berselang-30 atau 29 hari, sehingga selama setahun akan terkumpul 354 hari, 11 hari lebih cepat dari kalender solar yang setahunnya 365 hari. Agar kembali sesuai dengan perjalanan matahari dan agar tahun baru selalu jatuh pada awal musim gugur, maka dalam setiap periode 19 tahun ada tujuh buah tahun yang jumlah bulannya 13 (satu tahunnya 384 hari). Bulan interkalasi atau bulan ekstra ini disebut nasi’ yang ditambahkan pada akhir tahun setelah Zulhijah.
Ternyata, tidak semua kabilah di Semenanjung Arabia sepakat mengenai tahun-tahun mana saja yang mempunyai bulan interkalasi. Masing-masing kabilah seenaknya menentukan bahwa tahun yang satu 13 bulan dan tahun yang lain cuma 12 bulan. Lebih parah lagi, jika suatu kaum memerangi kaum lainnya pada bulan Muharram (bulan terlarang untuk berperang) dengan alasan perang itu masih dalam bulan nasî’, belum masuk Muharram, menurut kalender mereka. Akibatnya, masalah bulan interkalasi ini banyak menimbulkan permusuhan di kalangan masyarakat Arab. Kemudian, setelah turunnya Surah al-Taubah ayat 36-37, yang terkait dengan pelarangan interkalasi yang merupakan konsekuensi dari lunisolar calendar, maka dirubahlah sistem kalender masyarakat Arab menjadi murni lunar calendar.
Mengenai bilangan tahun, masyarakat Arab sebelumnya tidak menggunakan bilangan tahun tertentu. Mereka menamai sebuah tahun dengan persitiwa besar yang terjadi pada tahun tersebut. Tahun ketika Raja Abrahah bersama pasukan gajah menyerang Kabah disebut sebagai tahun gajah. Tahun ketika umat Islam pertama kali diizinkan untuk berhijrah disebut tahun al-Idzn, dan seterusnya. Hal ini masih berlanjut bahkan sampai pada masa kekhilafahan Umar Ra. Adalah sahabat Abu Musa al- Asy‘ari Ra. seorang sahabat yang ditunjuk menjadi Gubernur Basrah yang menyadari akan hal ini. Dalam menjalankan pemerintahan di Basrah, tentu Abu Musa banyak mendapatkan surat dari pemerintah pusat yang dalam hal ini adalah Umar bin Khattab. Dalam surat-surat tersebut banyak terdapat perintah yang berkaitan dengan waktu. Misalnya perintah untuk mengerjakan sesuatu di bulan Syaban, “Kita tidak tahu apakah ini bulan Syaban tahun ini atau tahun kemarin”. 22 Sehingga diadakanlah konferensi untuk membahas perlunya ditetapkan bilangan tahun. Terjadi perbedaan opini di antara para sahabat. Ada yang mengusulkan, tahun pertama hijrah adalah tahun ketika Nabi Saw. lahir, ada yang berpendapat ketika Nabi Saw. diutus. Akhirnya, setelah melalui proses perdebatan panjang, diterimalah usulan dari Ali bin Abi Thalib Ra., tahun pertama Hijriyah adalah tahun ketika Nabi Muhammad Saw. Berhijrah ke Madinah. Filosofinya, peristiwa hijrah Nabi Saw. adalah sebagai pembeda antara fase kejahiliyahan dengan yang haq. Akhirnya pada tanggal 20 Jumadil Awal akhir tahun 17 H, ditetapkan bahwa tahun 1 Hijriyah adalah tahun di mana Nabi Saw. Hijrah ke Madinah.
Para sahabat juga bersepakat bahwa tahun Hijriyah dimulai pada bulan Muharam. Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut dikarenakan sebelumnya adalah bulan Zulhijah atau bulan haji. Jadi, usai menunaikan ibadah haji, manusia kembali mengerjakan urusan masing-masing diawal tahun baru. 1 Muharram 1 H sendiri bertepatan dengan tanggal 15 Juli 622 Masehi
Sebagian besar dikutip dari :
Musa Al-Azhar. 2018. Kalender Hijriyah Dalam Al-Qur’an. Jurnal : Al-Marshad. Vol 4. No 2 Hal 234-235.