Aspek Faktual Penentuan Awal Bulan
Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA
Sejatinya, mendefinisikan hilal mengacu pada tiga faktor, yaitu (1) faktor posisi Bulan, (2) faktor visibilitas (pengamatan, keterlihatan), dan (3) faktor nas (dalil).
Faktor posisi Bulan diterjemahkan dalam elemen-elemen seperti altitude, azimuth, elongasi, horizon, dip, dan lain-lain, yang mana untuk saat ini bukan masalah lagi. Dengan memanfaatkan teknologi dan teori ilmu terkini mampu mengatasinya. Jika hanya memperkirakan posisi Bulan sudah berada di atas ufuk atau belum, ijtimak, ghurub (terbenam), dan lain-lain. ‘Wujudul Hilal’ yang digunakan Muhammadiyah sudah lebih dari cukup. Kriteria ini mewajibkan Bulan harus berposisi di atas ufuk ketika Matahari terbenam yang didahului terjadinya ijtimak atau konjungsi.
Sementara itu faktor visibilitas (pengamatan, keterlihatan). Faktor ini sangat penting yang juga berkaitan dengan faktor yang ketiga (faktor nas). Manusia hidup di Bumi dan dilindungi atmosfir yang tebal, sementara hilal berada di atas sana (baca: langit), sehingga faktor jarak dan obyek keduanya (Bumi dan hilal) harus diperhitungkan. Era belakangan, alat-alat untuk mengamati benda-benda angkasa (termasuk hilal) terus digalakkan meski epistimologinya sudah ditemukan sejak silam. Kecerlangan cahaya Bulan dengan kecerlangan sinar Matahari harus diperhitungkan secara matang. Jika kecerlangan Bulan lebih redup dari kecerlangan Matahari, maka hilal tidak akan terlihat dengan cara dan dengan alat apapun, lain hal jika sebaliknya, hilal akan wujud meski terkadang tak tampak, padahal nash menghendaki untuk terlihat dan atau istikmal bukan sekedar ‘wujud’. Dalam pendapat sebagian, jelas ‘Wujudul Hilal’ kurang realistis karena sepenuhnya mengabaikan atmosfer Bumi dan sensitivitas optik (visibilitas) juga sensitivitas nash (dalil).
Sejak lama, banyak ilmuan mencoba merumuskan konsep ideal ‘hilal ilmiah’, diantaranya datang dari Yordania yang dicetus oleh Muhammad Syaukat ‘Audah (dikenal dengan Odeh) pada tahun 2004. Beliau merumuskan teori yang agak rumit, namun dengan tersedianya fasilitas modern sedikit mempermudah, diantaranya telah diformat dalam bentuk software yang bernama ‘Jordanian Astronomical Society’, yang biasa disebut dengan Software Odeh atau ‘Accurate Times’.
Sedangkan faktor nash (dalil), yang dimaksud adalah pengakomodiran nyata rukyat itu sendiri. Betapapun rukyat dapat dimaknai dengan beragam definisi, namun rukyat dengan mata adalah diantara makna asli dari pengertian rukyat. Posisi positif Bulan di atas ufuk belum berarti apa-apa karena boleh jadi tidak teramati. Hisab lahir dan bermula dari pengamatan (observasi) yang berulang–ulang hingga melahirkan konsep hisab yang matang, alangkah fairnya jika metode ini (baca: rukyat) tetap dihargai. Penggunaan metode pengamatan telah mengakar digunakan melalui ucapan dan perbuatan Nabi Saw dan Sahabat ra., alangkah wajar terus dihidupkan. Sejatinya nash menegaskan yang jadi acuan adalah Bulan bukan posisi Bulan, wujudnya Bulan di atas ufuk belum menjamin adanya hilal menurut pandangan normal mata manusia.
Konkretnya, hisab perlu melonggarkan hisabnya untuk dapat mengakomodir rukyat demi terwakilinya zahir sensitivitas nash dan sensitivitas optik (visibilitas) karena dua hal ini selamanya tidak bisa dipisahkan. Demikian juga, rukyat perlu lebih menegaskan pengakomodirannya terhadap hisab untuk menghasilkan rukyat yang berkualitas. Serta merta melihat dan atau mengistikmalkan bilangan tanpa perhitungan dan observasi yang matang adalah kekonyolan yang nyata. Idealnya, satu kriteria hisab dan rukyat disepakati, maka inilah yang penulis menyebutnya dengan ‘hilal ilmiah-syar’iyah’, yaitu hilal yang didambakan masyarakat luas, yang sesuai dengan kaidah hisab modern dan dapat diterapkan dilapangan. Namun untuk menuju ke arah itu tidaklah mudah, perlu diskusi dinamis dan intensif untuk menyamakan persepsi dan tujuan.
Di Indonesia, dengan beragam apologi dan metodologi, definisi hilal tak kunjung definitif. Banyak faktor melatarinya, utamanya faktor latar belakang fikih yang ‘sentralistik’ dan faktor memandang sains yang ‘futuristik’. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama RI, hanya mampu merumuskan konsep ‘Hisab Imkan Rukyat’ dengan standar 2 derajat. Dalam pandangan para ilmuan konsep ini dinyatakan tidak ilmiah. Namun sebatas ini dianggap baik dengan alasan ditetapkan oleh penguasa dan menjadi pilihan bagi masyarakat non ormas. Penulis menyebut hilal model ini sebagai ‘hilal kompromi’ yang pastinya membutuhkan terobosan untuk menuju hilal ilmiyah syar’iah.
Keragaman dan kketidak usaian persoalan penentuan awal bulan ini sekali lagi memberi kearifan kepada kita akan pentingnya kalender Islam global yang mampu menyatukan segenap aktifitas umat Muslim dimana saja berada dalam satu penjadwalan waktu yang terpadu. Wallahu a’lam.[] Penulis: Kepala Observatorium Ilmu Falak UMSU